Bahwasanyabentuknya yang zahiriyah itu telah bertukar menjadi tanah bersama tanah. Sesungguhnya ia mencintainya karena sifat-sifatnya yang bathiniyah dari agama, taqwa, banyak ilmu, meliputi pengetahuan agama, bangunnya untuk memfaedahkan ilmu syari’at dan pada menyiarkan kebajikan-kebajikan dalam alam duniawi. Sayyidina Ali Karromallahu wajhah menerangkan bahwa sejatinya taqwa tidaklah sekedar istitsalul awamir waj tinabun nawahi, tetapi taqwa itu adalah الØÙˆÙ من الجليل والعمل بالتنزيل والقناعة بالقليل والإستعداد ليوم الرحيل takut kepada Allah yang bersifat Jalal, dan beramal dengan dasar al-Qur’an at-tanzil dan menerima qona’ah terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari perlihan hari akhir. إنَ٠الْحَمْدَ لِلَÙهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¦ÙŽØ§ØªÙ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَ٠لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَ٠اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ Ø£ÙŽÙ†ÙŽÙ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù‹Ø§ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَÙهُمَ٠صَلِ٠وَسَلِÙمْ عَلَى نَبِيِÙنَا Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ. يَا أَيُÙهَا Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ§Ø³Ù أُوْصِيْكُمْ ÙˆÙŽØ¥ÙÙŠÙŽÙØ§ÙŠÙŽ Ø¨ÙØªÙŽÙ‚Ù’ÙˆÙŽÙ‰ اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَÙقُوْنَ. قَالَ تَعَالَى يَا أَيُÙهاَ Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ ءَامَنُوا اتَÙقُوا اللهَ حَقَ٠تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَ٠إِلاَ٠وَأَنتُمْ Ù…ÙÙØ³Ù’لِمُوْنَ. قَالَ تَعَالَى يَا أَيُÙهَا Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ§Ø³Ù اتَÙقُوْا رَبَÙكُمُ Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’ ØÙŽÙ„َقَكُمْ مِÙنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ ÙˆÙŽØÙŽÙ„ÙŽÙ‚ÙŽ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَØÙŽÙ مِنْهُمَا رِجَالاً ÙƒÙŽØÙÙŠÙ’رًا وَنِسَآءً وَاتَÙقُوا اللهَ Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’ تَسَآءَلُوْنَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَ٠اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيْبًا. يَا أَيُÙهَا Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ ءَامَنُوا اتَÙقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُØÙØ¹Ù اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Marilah bersama-sama kita saling menasehati akan pentingnya meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt. sesungguhnya ketaqwaan merupakan kunci menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jama’ah Jum’ah yang Dirahmati Allah Seringkali kita mendengar istilah taqwa’ begitu seringnya sehingga tidak terpikir oleh kita apakah sejatinya makna taqwa. Seolah-olah ketika telinga kita menangkap kata taqwa’ maka sudah menjadi mafhum bahwa yang dimaksudkan adalah menjalankan berbagai amal shaleh. Padahal tidak selamanya demikian. Memang, sebagain ulama mempermudah pemahaman taqwa dengan menjelaskan bahwa taqwa adalah ’imtitsalul awamiri waj tinabun nawahi’ mengerjakan segala perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. kalimat sederhana yang terkesan sangat global. Sehingga mudah diingat namun susah dicerna dan dijabarkan, mungkin karena terlalu singkat. Oleh karenanya dalam kesempatan ini khatib ingin sekali menerangkan makna taqwa sebagaimana diterangkan oleh Sayyidina Ali Karromallahu wajhah yang dikutip dalam kitab al-Manhajus Sawi, oleh al-allamah al-Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith. Sayyidina Ali membeberkan kepada kita makna taqwa yang terbentang dalam empat hal yaitu; الØÙˆÙ من الجليل والعمل بالتنزيل والقناعة بالقليل والإستعداد ليوم الرحيل Bahwa taqwa adalah takut kepada Allah yang bersifat Jalal, dan beramal dengan dasar al-Qur’an at-tanzil dan menerima qona’ah terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari akhir perlihan hari akhir. Jama’ah jum’ah yang berbahagia Pertama; Al-khaufu minal Jalil artinya bahwa taqwa itu akan menjadikan seseorang merasa takut kepada Allah swt yang memiliki sifat Jalal. Takut melanggar berbagai aturan dan ketentuan-Nya. Sehingga apapun yang akan diperbuatnya selalu dipertimbangkan terlebih dahulu. Tangan tidak akan digunakan untuk memungut benda yang bukan miliknya tanpa izin. Kaki tidak digunakan untuk berjalan ke aarah yang salah, demikian juga mata dan telinga tidak akan difungsikan sebagai alat mendurhakai-Nya. Maka taqwa dalam bingkai Al-khaufu minal Jalil, lebih bernuansa penghindaran dan pencegahan’ dari pada pelaksanaan’. Karena sesungguhnya ketakutan’ itu akan menyebabkan seseorang enggan melakukan tindak kesalahan. Seperti halnya seorang anak kecil yang takut bermain air hujan karena takut kepada orang tuanya. Kedua; wal amalu bit tanzil, menghindari sesuatu karena takut kesalahan dalam konsep taqwa tidak lantas menjadikan seseorang tidak berbuat apa-apa, karena hal taqwa juga menuntut tindakan baik yang berdasar pada al-Qur’an yang diturunkan at-tanzil sebagai pedoman hidup dan dasar bersyariat bagi kaum muslim. Maka segala amal orang yang bertaqwa berdasar pada al-Qur’an, dan mereka tidak akan melakukan sesuatu secara serampangan tanpa adanya dalil yang mendasarinya baik al-Qur’an, Hadits, Ijam’ maupun qiyas. Jama’ah jum’ah yang Dimuliakan Allah Ketiga; al-Qana’atu bil Qalil, artinya orang yang bertaqwa akan selalu merasa cukup dengan rizki yang sedikit, sesungguhnya orang yang memiliki rizqi yang sedikit dan merasa cukup dengan rizqi tesebut adalah bukti sekaligus tanda bahwa orang itu dicintai oleh Allah swt. Sebagaimana yang disabdakan rasulullah saw. إن الله إذا أحب عبدا رزقه كفافا Bahwa jika Allah mencintai seorang hamba ia akan memberikan rizki yang pas-pasan kepadanya. Artinya pas-pasan adalah tidak memiliki kelebihan selain untuk menutupi kebutuhan pokoknya, inilah tanda orang taqwa yang dicintai Allah swt. Oleh karena itu dalam kenyataannya tidak seorangpun hamba yang hidup pas-pasan bertindak secara berlebihan, berhura-hura dan doyan belanja. Karena berbagai macam keglamouran hidup itu sangat dibenci oleh Allah swt. menyebabkan manusia melupakan Tuhannya. Itulah bukti hamba itu dicintai oleh Allah. Berbeda sekali dengan seorang yang memiliki limpahan harta yang berlebih. Maka di kala waktu luang setan akan segera menghampirinya dan membujuk untuk berbuat hura-hura, jalan-jalan berekreasi ke tepi pantai atau santai santai di menikmati keremangan malam atau malah mencari kesibukan diluar pengetahuan pasangannya. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang sepertin ini. Maka menjadi amat penting memeperhatikan sabda Rasulullah saw selanjutnya yang berbunyi ØÙˆØ¨Ù‰ لمن هدي الإسلام وكان رزقه كفافا ورضي به Beruntung sekali orang yang mendapatkan petunjukIslam, yang mempunyai rizqi pas-pasan dan rela dengan rizqi yang pas-pasan itu. Ridhda atau rela dengan kesedikitan itu menjadi satu sarat tersendiri. Sebagai pertandanya orang tersebut tidak pernah berkeluh-kesah akan keadaanya. Banyak sekali hamba yang merasa cukup dengan rizqi yang diterimanya, saying sekali ia sering keluhan-keluhan. Sesungguhnya hal yang demikian itu mengurangi ketaqwaan. Dan keempat, al-isti’dadu li yaumir rakhil, adalah bersiap-siap menghadapi hari perpindahan. Perpindahan dari alam dunia ke alam kubur lalu ea lam akhirat. Artinya segala amal orang yang bertaqwa senantiasa dalam ranga menyiapkan diri akan hadirnya hari kematian. yaitu hari keberangkatan dari alam dunia menuju alam akhirat. Oleh karena itu ketika Rasulullah ditanya “siapakah manusia yang paling cerdas dan paling mulia di hadapan Allah?” beliau menjawab mereka adalah manusia yang Ø£ÙƒØØ±Ù‡Ù… ذكرا للموت وأشدهم إستعدادا له Manusia yang paling banyak mengingat kematian dan paling semangat mempersiapka diri menghadapinya. Ini juga merupakan tuntunan praktis bagi umat muslim meningkatkan ketaqwaannya, yaitu selalu mengingat kematian Karena, seorang yang mengingat kematian ia tidak akan mudah terjerumus dalam kubangan dosa. Demikianlah khotbah jum’ah kali ini. Semoga bermanfaat bagi kita semua. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِيْ اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ وَنَفَعَنِي ÙˆÙŽØ¥ÙŠÙŽÙØ§ÙƒÙÙ…Ù’ ِبمَا ِفيْهِ مِنَ اْلآياَتِ وَالذكْر ِالْحَكِيْمِ وَتَقَبَÙÙ„ÙŽ مِنِÙÙŠ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إنَÙهُ هُوَ السَÙمِيْعُ اْلعَلِيْمُ Khutbah II اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُÙكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَ٠اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ Ø§ÙŽÙ†ÙŽÙ Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¯ÙŽÙ†ÙŽØ§ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù‹Ø§ عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ Ø§Ù„Ø¯ÙŽÙØ§Ø¹ÙÙ‰ اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَ٠صَلِ٠عَلَى Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¯ÙÙ†ÙŽØ§ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِÙمْ تَسْلِيْمًا كِØÙŠÙ’Ø±Ù‹Ø§Ø§ÙŽÙ…ÙŽÙØ§ بَعْدُ فَياَ اَيُÙهَا Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ§Ø³Ù اِتَÙقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا Ø¹ÙŽÙ…ÙŽÙØ§ نَهَىوَاعْلَمُوْا اَنَ٠الله٠اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ ÙˆÙŽØÙŽÙ€Ù†ÙŽÙ‰ بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَ٠اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُÙوْنَ عَلىَ Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ¨ÙÙ‰ يآ اَيُÙهَا Ø§Ù„ÙŽÙØ°ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ آمَنُوْا صَلُÙوْا عَلَيْهِ وَسَلِÙمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَ٠صَلِ٠عَلَى Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¯ÙÙ†ÙŽØ§ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù صَلَÙÙ‰ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِÙمْ وَعَلَى آلِ Ø³ÙŽÙŠÙÙØ¯ÙÙ†Ø§ÙŽ Ù…ÙØ­ÙŽÙ…ÙŽÙØ¯Ù وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ Ø§Ù’Ù„Ù…ÙÙ‚ÙŽØ±ÙŽÙØ¨ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ وَارْضَ اللÙهُمَ٠عَنِ اْلØÙÙ„َفَاءِ Ø§Ù„Ø±ÙŽÙØ§Ø´ÙØ¯ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُØÙ’مَان وَعَلِى وَعَنْ Ø¨ÙŽÙ‚ÙÙŠÙŽÙØ©Ù Ø§Ù„ØµÙŽÙØ­ÙŽØ§Ø¨ÙŽØ©Ù ÙˆÙŽØ§Ù„ØªÙŽÙØ§Ø¨ÙØ¹ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ وَتَابِعِي Ø§Ù„ØªÙŽÙØ§Ø¨ÙØ¹ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِÙيْنِ وَارْضَ Ø¹ÙŽÙ†ÙŽÙØ§ مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ Ø§Ù„Ø±ÙŽÙØ§Ø­ÙÙ…ِيْنَاَللهُمَ٠اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَ٠اَعِزَ٠اْلاِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ ÙˆÙŽØ£ÙŽØ°ÙÙ„ÙŽÙ Ø§Ù„Ø´ÙÙØ±Ù’ÙƒÙŽ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ Ø§Ù’Ù„Ù…ÙÙˆÙŽØ­ÙÙØ¯ÙÙŠÙŽÙةَ وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِÙيْنَ وَاØÙ’ذُلْ مَنْ ØÙŽØ°ÙŽÙ„ÙŽ اْلمُسْلِمِيْنَ ÙˆÙŽ Ø¯ÙŽÙ…ÙÙØ±Ù’ اَعْدَاءَالدِÙيْنِ وَاعْلِ كَلِمَاتِكَ اِلَى يَوْمَ الدِÙيْنِ. اللهُمَ٠ادْفَعْ Ø¹ÙŽÙ†ÙŽÙØ§ اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَÙلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَØÙŽÙ†ÙŽ Ø¹ÙŽÙ†Ù’ بَلَدِنَا Ø§ÙÙ†Ù’Ø¯ÙÙˆÙ†ÙÙŠÙ’Ø³ÙÙŠÙŽÙØ§ ØØ¢ØµÙŽÙةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ Ø¹Ø¢Ù…ÙŽÙØ©Ù‹ يَا رَبَ٠اْلعَالَمِيْنَ. رَبَÙنَا آتِناَ فِى الدُÙنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآØÙØ±ÙŽØ©Ù حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ Ø§Ù„Ù†ÙŽÙØ§Ø±Ù. رَبَÙنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَ٠مِنَ اْلØÙŽØ§Ø³ÙØ±ÙÙŠÙ’Ù†ÙŽ. عِبَادَاللهِ ! اِنَ٠اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَÙكُمْ ØªÙŽØ°ÙŽÙƒÙŽÙØ±ÙÙˆÙ’Ù†ÙŽ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ Redaktur Ulil Hadrawy Rabiah Al-‘adawiyyah adalah seorang wanita shalehah yang bertaqwa kepada Allah, ia benar-benar telah menggapai martabat tertinggi dalam hal taqwa, seorang ahli sufi yang sangat terkenal pada masanya, siang dan malamnya di habiskan
SUDAH SAATNYA MENYADARI HAKIKAT AJARAN SUFI Oleh Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MAPENDAHULUAN Istilah “sufi” atau “tasawwuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat kebanyakan. Istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas masyarakat beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawwuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawwuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu melekat di tangan, dan bibir yang senantiasa komat-kamit melafazhkan dzikir. Semua ini semakin menambah keyakinan bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali kekasih Allah Azza wa membahas tentang hakikat tasawwuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan hanya dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata. Barometer sesuai tidaknya pemahaman tersebut, ialah menakarnya dengan Al-Qur`ân dan Sunnah menurut yang dipahami oleh al-Barbahâri rahimahullah mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya, Syarh as-Sunnah dengan ucapan beliau “Perhatikan dan cermatilah –semoga Allah Azza wa Jalla merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali engkau terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai engkau tanyakan dan meneliti kembali, apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlus-Sunnah? Kalau engkau mendapatkan ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiyallahu anhum, maka berpegang teguhlah engkau dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah sekali-kali engkau meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga akibatnya engkau akan terjerumus ke dalam neraka!”[1]Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawwuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawwuf AJARAN TASHAWWUF Tasawwuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal pada zaman para sahabat Radhiyallahu anhum, bahkan tidak dikenal pada zaman tiga generasi yang utama generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tabi’it Tâbi’in. Ajaran ini baru muncul sesudah masa tiga generasi ini.[2]Ajaran ini, pertama kali muncul di kota Bashrah, Irak, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota Islam lainnya.[3]Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata dalam kitab at-Tashawwuf, al-Mansya’ wa al-Mashdar hlm. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawwuf klasik maupun modern, dan ucapan-ucapan mereka yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawwuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al- Qur`ân dan Sunnah. Dan sama sekali, tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawwuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat beliau Radhiyallahu anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah Azza wa Jalla. Justru sebaliknya, kita dapati ajaran tasawwuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nashrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi, dan kezuhudan model agama Budha”.[4]Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawwuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini nampak jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawwuf, amalan-amalan ibadah yang asing dan jauh dari petunjuk DASAR AJARAN TASHAWWUF YANG MENYIMPANG DARI PETUNJUK AL-QUR`ÂN DAN AS-SUNNAH[5] Orang-orang ahli tashawwuf –khususnya yang ada pada zaman sekarang– mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan menyimpang sangat jauh dari Al-Qur`ân dan Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatannya berdasarkan simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat disimpulkan sebagai berikutMereka membatasi ibadah hanya pada aspek al-mahabbah kecintaan saja dengan mengenyampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek al-khauf rasa takut dan ar-raja` pengharapan, sebagaimana terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tashawwuf “Aku beribadah kepada Allah Azza wa Jalla , bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka”. !? Memang benar, aspek al-mahabbah merupakan landasan ibadah. Akan tetapi, ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek al-mahabbah saja, seperti persepsi orang-orang ahli tashawwuf. Karena, ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek al-mahabbah, misalnya aspek al-khauf, ar-raja`, adz-dzull penghinaan diri, al-khudhû` ketundukkan, do’a, dan aspek-aspek seorang ulama Salaf berkata “Barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan kecintaan semata, maka dia adalah seorang zindiq kafir. Barang siapa yang beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan pengharapan semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan ketakutan semata, maka dia adalah seorang Haruuriyyah Khawarij. Dan barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan, maka dialah seorang mukmin sejati dan muwah–hid orang yang bertauhid dengan benar”.Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla memuji sifat para nabi dan rasul-Nya Shallallahu alaihi wa sallam yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya.[6]Orang-orang ahli tashawwuf, umumnya, dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al-Qur`ân dan Sunnah, tetapi, pedoman mereka adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka, serta ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka. Konkretnya dalam bentuk tarikat-tarikat bid’ah, berbagai macam dzikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri. Tidak jarang pula mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita khurafat yang tidak jelas kebenarannya, mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata “Orang-orang ahli tashawwuf, dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla , mereka berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nashrani. Yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya. Kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang nabi/rasul yang terjaga dari kesalahan. Maka demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli tashawwuf, mereka menjadikan para pemimpin dan guru-gurunya sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka”.Termasuk doktrin ajaran tashawwuf, ialah keharusan berpegang teguh dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat Hingga merasa cukup dengan produk dzikir-dzikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan selalu membacanya. Bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca dzikir-dzikir tersebut lebih utama daripada membaca Al-Qur`ân, dan mereka menamakannya dengan “dzikirnya orang-orang khusus”. Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al-Qur`ân dan Sunnah, mereka namakan dengan “dzikirnya orang-orang umum”. Kalimat thayyibah lâ ilaha illallah, menurut mereka termasuk “dzikirnya orang-orang umum”. Adapun “dzikirnya orang-orang khusus” ialah melantunkan kata tunggal ا للة dengan berulang-ulang. Lebih aneh lagi, mengulang-ulang kata Huwa/Dia, mereka sebut sebagai “dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus”.Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata “Barang siapa yang beranggapan bahwa kalimat Lâ ilaha Illallah adalah dzikirnya orang-orang umum, dan dzikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal ا للة, serta dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti Huwa/Dia, maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan”.Sikap ghuluw berlebih-lebihan/ekstrim orang-orang ahli tashawwuf terhadap orang-orang yang mereka anggap telah mencapai kedudukan wali’ atau terhadap guru-guru tarikat mereka. Pengertian wali dalam kamus mereka bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Al-Qur`ân. Wali kekasih Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk kepada Allah Azza wa Jalla. Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani ditegaskan di sini, bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan bagi orang-orang tertentu saja. Akan tetapi, setiap orang yang beriman dan bertakwa, maka ia adalah wali kekasih Allah Azza wa Jalla . Kedudukan sebagai wali Allah Azza wa Jalla juga tidak menjadikan diri seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ makna “wali” menurut kalangan ahli tashawwuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Orang-orang ahli tashawwuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu yang bertentangan dengan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah dalam masalah ini. Mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu saja tanpa dilandasi dengan dalil syari’at yang menunjukkan kewalian orang-orang tidak jarang, mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, atau kepada orang yang dikenal mempunyai penyimpangan dalam keimanan. Seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla , melakukan hal-hal yang aneh-aneh atau di luar dapat menjumpai mayoritas orang-orang ahli tashawwuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia. Seperti terbang di udara menuju ke Makkah atau tempat-tempat lainnya. Terkadang berjalan di atas air, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menyelesaikan keperluannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang ghaib tidak nampak, dan lain-lain. Padahal, kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah Azza wa Jalla .Kaum mukminin telah sepakat dan sependapat mengatakan, jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terpedaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat, apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam? Apakah orang tersebut selalu mentaati perintah beliau Shallallahu alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? Karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab, ataupun orang munafik. Bisa juga dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin. Oleh karena itu, setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas, sama sekali, tidak boleh dianggap sebagai wali Allah.[7]Kemudian, ternyata kesesatan orang-orang ahli tashawwuf tidak sampai di sini saja. Sebab, sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti mengetahui hal-hal yang ghaib. Pada gilirannya, menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah Azza wa Jalla .Termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat adalah mendekatkan diri ? kepada Allah Azza wa Jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan. Semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla ?!. Dr. Shâbir Thu’aimah berkata dalam kitab ash-Shûfiyyah, Mu’taqadan wa Maslakan “Saat ini, tarian shufi modern telah dipraktekkan oleh mayoritas tarikat Shufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka. Para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik, yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita. Sedangkan para murid senior, dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat bohong yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.Juga termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat, yaitu apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan, yang jika seseorang telah mencapainya, maka ia akan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tashawwuf. Karena asal mula ajaran tashawwuf ialah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek, dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur, menurut klaim mereka. Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini termasuk kekufuran yang paling besar. Bahkan ucapan ini lebih buruk dari pada ucapan orang-orang Yahudi dan Nashrani. Karena orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka mengimani sebagian isi kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya. Dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla , meyakini janji dan ancaman-Nya. Kesimpulannya, orang-orang Yahudi dan Nashrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus dengan datangnya agama Islam dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik keadaannya dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla secara keseluruhan. Karena dengan keyakinan tersebut, berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama. Mereka, sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla . Bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang dengan sebagian dari ajaran Nabi Ibrahim Shallallahu alaihi wa sallam .Untuk membenarkan keyakinan tersebut, di antara mereka ada yang berargumentasi dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut iniوَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتّٰى يَأْتِيَكَ الْيَقِيْنُBeribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini kematian. [al-Hijr/15 99].Kata mereka “Makna ayat di atas ialah, sembahlah Rabbmu sampai kamu mencapai tingkatan ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah kewajiban melaksanakan ibadah atas dirimu …”.Padahal pada hakikatnya, ayat ini justru menyanggah anggapan pandangan mereka. Dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian,” kemudian Hasan al-Bashri rahimahullah membaca ayat di ayat di atas sangat jelas menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal, sampai ketika kematian datang menjemputnya. Dalam ajaran Islam, sama sekali tidak ada yang dinamakan dengan tingkatan/keadaan, yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana persangkaan orang-orang ahli Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ajaran tashawwuf merupakan ajaran sesat yang menyimpang, sangat jauh dari petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah. Dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya semakin dekat dengan Allah Azza wa Jalla , tetapi justru semakin jauh dari-Nya. Dan hatinya, bukan semakin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh jika muncul pertanyaan “Kalau begitu, bagaimana usaha yang harus kita lakukan untuk mensucikan jiwa dan hati kita?” Maka jawabannya, sangat sederhana, yaitu pelajari dan amalkan syari’at Islam ini lahir dan batin; dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih.[8] Karena di antara tugas utama yang dibawa para rasul ialah mensucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah Azza wa Jalla .Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman لَقَدْ مَنَّ اللّٰهُ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ اِذْ بَعَثَ فِيْهِمْ رَسُوْلًا مِّنْ اَنْفُسِهِمْ يَتْلُوْا عَلَيْهِمْ اٰيٰتِهٖ وَيُزَكِّيْهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَۚ وَاِنْ كَانُوْا مِنْ قَبْلُ لَفِيْ ضَلٰلٍ مُّبِيْنٍ“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah as-Sunnah. Dan sesungguhnya sebelum kedatangan Nabi itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. [Ali Imrân/3164].Maka, orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al-Qur`aan dan Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah yang paling bersih, suci hati dan jiwanya. Dan dialah yang paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla . Karena semua orang berilmu sepakat mengatakan, bahwa penghalang utama yang menghalangi seorang manusia dekat dengan Allah Azza wa Jalla ialah kekotoran jiwanya.[9]Oleh karena itu, Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam memberikan permisalan bahwa petunjuk dan ilmu yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada beliau Shallallahu alaihi wa sallam , ibarat air hujan yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dari langit. Sebagaimana fungsi air hujan ialah menghidupkan, membersihkan, dan menumbuhkan kembali tanah yang tandus dan gersang. Maka demikian pula petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , adalah untuk menghidupkan, mensucikan dan menumbuhkan hati Ta’ala a’lam.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Syarh as-Sunnah, Imam al-Barbahâri hlm. 61, Tahqiq Syaikh Khâlid ar-Raddâdi. [2] Lihat Haqîqat ash-Shufiyyah, hlm. 14. [3] Majmu’ al-Fatâwa, 11/6. [4] Ibid., hlm. 14. [5] Ringkasan dari pembahasan “Mauqif ash-Shûfiyyah min al Ibâdah wa ad-Dîn”, oleh Syaikh Shâlih al-Fauzân dalam kitabnya, Haqiqat at-Tashawwuf, hlm. 17-38, dengan sedikit perubahan. [6] Lihat, misalnya firman Allah l dalam surat al-Anbiyâ`/21 ayat 90, dan ayat-ayat lainnya. [7] Majmu’ al-Fatâwa, 11/215. [8] Untuk lebih jelasnya, silahkan menelaah kitab Manhajul Anbiyâ` fî Tazkiyatin-Nufûs, karya Syaikh Salîm al-Hilâli, yang ditulis khusus untuk menjelaskan permasalahan penting ini. [9] Seperti disimpulkan oleh Imam Ibnul Qayyim t dalam kitabnya, Igatsatul-Lahafan dan al-Fawa’id. Home /A9. Fiqih Dakwah Firqah.../Sudah Saatnya Menyadari Hakikat...
Hakikattaqwa menurut Ali bin Abi Thalib ra yang harus kita hasilkan dari ibadah Ramadhan kita adalah Mempersiapkan Diri Untuk Akhirat. Mati merupakan sesuatu yang pasti terjadi pada setiap orang. Keyakinan kita menunjukkan bahwa mati bukanlah akhir dari segalanya, tapi mati justeru awal dari kehidupan baru, yakni kehidupan akhirat yang enak dan tidaknya sangat tergantung On retrouve dans le Coran un verset d’une importance majeure dans son évaluation de la valeur intrinsèque et de l’intégrité morale des êtres humains qu’ils soient hommes ou femmes. Il s’agit du verset suivant Coran 49 ;13 Ô vous les humains ! Nous vous avons créés d’un homme et d’une femme et Nous avons fait de vous des peuples et des tribus pour que vous vous entre –connaissiez. Le plus méritant d’entre vous auprès de Dieu, est le plus - pieux, fidèle, dévoué - atquakoum ».Notons, dès le départ, l’entrée en matière de ce verset où il est explicitement rappelé aux humains leur origine commune. Celle d’un homme et d’une femme. Et de cette même origine, s’est établi une humanité répartie en une multitude de peuples et de diversité de ces peuples fait souvent oublier l’origine commune et l’unité de la création. Cette diversité voulue par Dieu est sublimée dans ce verset où il est demandé à ces différents peuples justement de se connaître mutuellement afin de ne jamais oublier leur origine a créé tous ces peuples et ces nations avec leurs spécificités, leurs différences, leurs cultures, leurs modes de vie… A partir de l’unité de la création Dieu a justement créé la diversité comme une épreuve… Vivre la diversité, accepter l’Autre dans sa différence n’est-elle pas encore aujourd’hui vécue comme un défi à tous nos égocentrismes modernes ?L’incitation coranique faite à ces peuples de se connaître est une invitation à l’enrichissement mutuel à travers cette attitude humaine de l’ouverture sur l’Autre indépendamment de sa différence, de son ethnie ou de sa culture d’origine. La connaissance mutuelle dont parle le Coran consiste donc à enrichir l’expérience humaine, constamment, éternellement, par cet apport de l’Autre, en ce qu’il a de meilleur à offrir de sa spécificité à l’universel humain. Le plus méritant d’entre vous auprès de Dieu, est le plus dévoué atquakoum » …De cette diversité humaine, Dieu ne fait point de différence, entre tous ces êtres humains qu’Il a créé, nul ne peut prétendre à une considération particulière ou à une préférence quelconque de la part de Dieu…Il n’y a ni peuple élu, ni nation privilégiée… L’égalité de tous les êtres humains aux yeux du Créateur est absolue et elle transcende tous les particularisme, de race, d’ethnie, de couleur ou de sexe…Le seul mérite auprès de Dieu est celui que le Coran défini dans ce verset comme étant la Taqwa »…Mais que veut dire au juste la Taqwa » ? Étymologiquement , la Taqwa a un sens de prévention et de prophète l’a définie comme étant une qualité intériorisée dans le cœur. Dans un hadith connu il affirma en parlant de la Taqwa at- Taqwa est ici , at- Taqwa est ici » en faisant un signe de sa main vers son cœur[1].Omar Ibn al-Khattab, a demandé un jour à un compagnon, Oubay Ibn Kaab, de lui expliquer le sens de Taqwa ? Oubay a répondu Supposons que tu te retrouves un jour sur une route parsemée d’épines que ferais - tu ? ». Omar de répondre je retrousserais mes manches et je m’efforcerais d’éviter ces épines ! ouchamir wa ajtahid ». Ce à quoi Oubay a répondu Et bien la Taqwa c’est cela ! »[2] . Autrement dit, c’est l’effort fourni afin d’éviter les épines, autrement dit, les épreuves de la vie ».La Taqwa est souvent traduite par piété ». Dans la signification islamique traditionaliste la Taqwa a le plus souvent été enfermée dans le domaine stricte des Ibadates, autrement dit du culte, et de la morale individuelle. On l’identifie souvent d’ailleurs comme un comportement religieux caractéristique de ceux qui appartiennent à un mouvement mystique de retrait du monde. Toujours selon cette signification la Taqwa est synonyme de peur de Dieu, de crainte, voire comme certains l’ont appelée de crainte révérencielle ».Il est vrai que la Taqwa peut être assimilée à de la piété, à de la crainte, à la peur du Créateur, ceci étant un sentiment commun retrouvé dans le cœur des pratiquants et toutes les religions ont insisté sur ce lien entre la pratique du culte et la peur de la punition divine. Ce sont là des sentiments tout à fait humains et finalement spontanés, inhérents à la nature humaine ou Fitra, qui n’est autre que cette empreinte de la présence de Dieu, enfouie dans le plus profond de nos âmes la Taqwa ne peut être circonscrite à la piété et la peur…En fait, la Taqwa a deux dimensions essentielles, l’une intérieure, dans le cœur des croyants comme l’a bien défini le prophète, mais aussi une dimension extérieure, qui consiste justement a extérioriser cette qualité en des actes et en un comportement reflétant cette vertu du cœur. En d’autres termes et comme l’a bien décrit Oubay, quand il en décrivait le sens au Calife Omar, c’est avant tout l’effort personnel entrepris par chaque homme et chaque femme afin d’affronter les défis et les épreuves de la vie!La Taqwa doit d’abord être comprise et vécue comme étant une valeur spirituelle d’amour, de respect du Créateur mais qui doit être mise en pratique dans la vie de tous les jours. C’est l’ouverture constante de l’esprit vers le s’approcher par des actes de vertu à Dieu et être dans cette proximité intime et constante avec le Créateur de ces mondes. C’est avoir la conscience d’être avec Dieu toujours et partout à travers son cœur et ses ainsi que l’on constate comment le Coran insiste sur cette égalité de tous les êtres humains dont le seul critère de préférence pris en compte par Dieu est celui d’une Taqwa conçue dans son sens pluriel et ouvert. Et non pas, comme l’ont compris certains, dans un sens restrictif de dévouement passif, fataliste et vain. La Taqwa, certes, c'est être dévoué au Créateur et à ses injonctions mais c’est un dévouement qui sait rester actif, vivant, créatif, et qui ne peut se réaliser que dans l’intelligence de la foi et de la dans ces sens que la Taqwa, doit être comprise et vécue, comme une profonde exigence de liberté », puisque adhérer à la foi et à la transcendance c’est finalement délivrer sa raison » des futilités matérielles et des passions négatives et s’élever vers la liberté infinie. L’homme pieux se sent profondément libre !...Rousseau n’avait il pas affirmé à juste titre Rendez moi libre en me protégeant contre mes passions qui me font violence, empêchez moi d’être leur esclave et forcez moi d’être mon propre maitre en n’obéissant point à mes sens mais à ma raison ».[3]Les hommes et les femmes doivent rivaliser dans cette Taqwa afin d’avoir les mérites du Créateur. Elle n’est finalement que cette spiritualité qui devient par l’effort et le mérite, une force libératrice, qui délivre les croyants et croyantes des chaines du matérialisme à outrance et qui les élève très haut vers les cieux de la meilleur d’entre toutes les femmes et tous les hommes devant Dieu c’est donc celui et celle qui saura se libérer de ses passions, de son Nafss ou égo et qui fera le plus d’efforts pour se dévouer et pour accomplir le plus grand nombre de belles actions dans cette vie, pour les autres, tous les autres, quelles que soient leur origine, couleur ou race. C’est là, l’illustration des plus belles égalités entre hommes et femmes, égalité qui se fait dans la liberté, l’engagement du cœur et dans le dévouement de l’ LamrabetAvril 2013[1] Hadith transmit par le compagnon Abderrahmane Ibn Sakhr , ouvrage al mashikha al baghdadia » Abi tahar assalafy, vol 23.[2] Tafssir Ibn Kathir du verset 2 , sourate 2.[3] Islam et modernité », Abdellah Laroui, Centre culturel Arabe,3me édition, 2009, Casablanca, p 58.

1Taqwa kepada Allah di dalam sepi maupun ramai. 2. mengikuti sunnah di dalam ucapan dan perbuatan. 3. berpaling dari makhluk di dalam penghadapan maupun saat mundur (artiny sama dng nmr 3 diatas "kalam Syaikh mhmd amin kurdi"). 4. ridlo kepada Allah dari pemberianNya baik sedikit ataupun banyak 5. Dan selalu kembali pada Allah saat suka maupun

KEKELIRUAN PEMBAGIAN HAKIKAT DAN SYARI’AT ALA TARIKAT SUFIYAHSebagian kalangan tarikat Sufiyah membagi Islam menjadi dua bagian, yaitu syariat dan hakikat. Atau zhahir dan rahimahullah menjelaskan “Banyak kalangan Sufi yang membedakan agama menjadi hakikat dan syariat”[1]Yang dimaksudkan dengan syariat –menurut kaum Sufi- yaitu perkara apa saja yang diwahyukan Allah kepada Rasul-Nya tanpa memerlukan adanya pentakwilan. Mereka menyebutnya dengan nama ilmu zhahir atau ilmu syariah. Menurut kalangan Sufi, golongan yang mengimani nash-nash syariat tanpa menggunakan takwil ini, masuk ke dalam kategori kelompok awam. Yang termasuk dalam klasifikasi ini -menurut kaca mata mereka- yaitu para imam empat, seluruh ulama fiqih fuqaha, dan ulama pengertian al-haqiqah hakikat, yaitu bisikan-bisikan hati dan mimpi-mimpi kaum Sufi, yang mereka yakini sebagai takwil penafsiran ilmu syariat. Ilmu ini dikenal dengan istilah ilmu bathin, dan para pemiliknya pun disebut ahlul-bâthin. Mereka inilah –menurut kalangan Sufi- yang dikategorikan sebagai manusia-manusia khâsh, yang menyandarkan cara pengamalan agama pada penakwilan nash-nash syariat. Bahkan kata mereka, ilmu bathin tersebut lebih tinggi daripada ilmu melabeli para ulama syariah dengan sebutan yang merendahkan. Seperti al-awwaam’ orang-orang awam, ahlu zhahir, al mahjubun kaum yang terhalangi dari ilmu. Bahkan, kata ahlu syubuhat dan hawa nafsu pun mereka lekatkan pada ulama Syarani menukil riwayat dari seorang tokoh Sufi, Nashr bin Ahmad ad Daqqaq, ia berkata “Kesalahan seorang murid ada tiga menikah, menulis hadits dan bergaul dengan ulama syariah“.Lain lagi dengan Syaikh Hamd an Nahlan at Turabi. Sebelumnya ia menyibukkan diri dengan mengajar ilmu fiqh. Akan tetapi, pasca mengenal tarikat, menghabiskan waktunya selama 32 bulan untuk berkholwat. Murid-muridnya pun memintanya untuk kembali mengajar. Akan tetapi ia menjawab “Saya dan al Khalil nama seorang ulama fiqih besar telah berpisah sampai hari Kiamat”[2]Hakikat “Ilmu Hakikat” Sufiyah Menurut seorang tokoh Sufi yang bernama Ibnu Ajîbah[3], bahwa orang yang membagi agama menjadi hakikat dan syariat ialah Nabi. Menurut Ibnu Ajîbah, Allah mengajarkannya kepada beliau Shallallahu alaihi wa sallam melalui wahyu dan ilham. Malaikat Jibril datang pertama kali membawa “syariat”. Dan tatkala “syariat” sudah mengakar, maka Malaikat Jabril turun untuk kedua kalinya dengan membawa “haqiqat”. Tetapi hanya sebagian orang yang memperolehnya. Dan orang yang pertama kali memunculkannya ialah Sayyiduna Ali.[4]Anggapan dan keyakinan seperti ini, tentu merupakan pemikiran bid’ah model baru. Karena sejak awal, kaum Muslimin tidak pernah mengenal pembagian ini. Kaum Muslimin tidak pernah memikirkannya, apalagi sampai mengakuinya. Benih pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” ini sebenarnya tumbuh dari sekte Syi`ah yang mengatakan bahwa setiap segala sesuatu memiliki sisi zhahir dan batin. Sehingga –menurut kaum Sufi- demikian pula dengan Al-Qur`an, ia mempunyai sisi zhahir dan batin. Setiap ayat dan kata-katanya memuat pengertian zhahir dan batin. Sisi batin itu tidak terdeteksi kecuali oleh kalangan hamba Allah yang khusus kaum khawâsh, yang –konon- Allah mengistimewakannya dengan karunia ini, bukan kepada orang selain mereka.[5]Oleh karena itu, kalangan Sufi yang memegangi bid’ah ini, mereka telah mengikuti jalan ta`wil, sehingga “terpaksa” banyak menggunakan bahasa-bahasa dan istilah yang biasa dipakai orang-orang Syi` Adanya “Hakikat” dan “Syari’at” Keyakinan yang telah mengakar pada sebagian penganut Sufi ini, memunculkan banyak konsekuensi buruk. Mulai dari berdusta terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala, berdusta atas nama Rasulullah Shallallahu alaihi wa salam dan juga kebohongan terhadap para sahabat, terutama sahabat Abu Bakr, Umar, dan Utsman Radhiyallahu anhum. Beberapa konsekuensi ini mungkin saja tidak mereka sadari, atau bahkan mereka tolak, akan tetapi, demikianlah tentang kedustaan terhadap Allah Ta’ala,. Yaitu, mereka melakukan pembagian agama menjadi “hakikat” dan “syariat” itu turun dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Rasul-Nya dengan perantaraan Malaikat Jibril Alaihissalam. Sedangkan kedustaan terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, bahwa adanya pembagian ini telah menyiratkan tuduhan terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, jika beliau Shallallahu alaihi wa sallam telah melakukan kitmânul-ilmi menyembunyikan sebagian ilmu dan tidak menjalankan amanah tabligh secara penuh. Padahal, terdapat ancaman Allah Subhanahu wa Ta’ala atas orang-orang yang menyembunyikan Subhanahu wa Ta’ala berfirmanاِنَّ الَّذِيْنَ يَكْتُمُوْنَ مَآ اَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالْهُدٰى مِنْۢ بَعْدِ مَا بَيَّنّٰهُ لِلنَّاسِ فِى الْكِتٰبِۙ اُولٰۤىِٕكَ يَلْعَنُهُمُ اللّٰهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللّٰعِنُوْنَۙ“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknati”. [al- Baqarah/2159].Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أَلْجَمَهُ اللَّهُ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ“Barang siapa yang ditanya ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membelenggu mulutnya dengan tali kekang dari neraka pada hari Kiamat kelak” [HR Abu Dawud].Sehingga tidak mungkin Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menyembunyikan sebagian ilmu. Anggapan itu, nyata merupakan pendapat yang mengada-ada. Ilmu apakah yang beliau sembunyikan? Padahal saat haji Wada`, beliau n telah mempersaksikan tentang tugasnya yang sudah disampaikannya secara utuh. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun telah menegaskan kesempurnaan Islam dalam Al-Qur` lontaran kebohongan terhadap para sahabat, yaitu anggapan bahwa para sahabat Radhiyallahu anhum adalah orang-orang sesat, bodoh, dan tidak mengenal ilmu hakikat yang dapat mendekatkan manusia kepada mahabatullah. Lontaran ini tentu merupakan kedustaan. Sebab mengandung hujatan yang meminggirkan peran para sahabat Radhiyallahu anhum, dan hanya menempatkan Sahabat Ali sajalah yang telah berperan dalam masalah ini, meskipun hakikatnya mereka pun berdusta atas nama Sahabat Ali Radhiyallahu khusus, kedustaan ini memuat dua semakin menguatkan adanya benang merah antara Sufi dan Syi’ ini merupakan petunjuk adanya hasad terpendam terhadap agama Islam. Karena pembagian agama dalam dua kutub “syariat” dan “hakikat”, di dalamnya mengandung usaha untuk menjauhkan umat Islam dari generasi terbaiknya, yaitu para sahabat Radhiyallahu anhum yang Allah memberikan taufik kepada kaum Muslimin untuk memahami agama Islam dengan cara yang Hiyash Shûfiyah, Syaikh Abdur-Rahmân Juyûsyil-Islâmiyyah lil-Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. Awwâd bin Abdullah al-Mu’tiq, Maktabah Rusyd, Cetakan III, Tahun 1419 H – 1999 M.[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079] _______ Footnote [1] Naqdul-Ilmi wal-Ulama, hlm. 246-247. [2] Târîkh Baghdâd 2/331 [3] Ahmad bin Muhammad bin al Mahdi bin Ajîbah, dia adalah seorang tokoh Sufi, meninggal pada tahun 122H. Dia menulis sebuah kitab berjudul Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam [4] Iqâzhul-Himami fi Syarhil-Hikam 1/5. Dikutip dari halaman 149 Ijtimâ’ Juyûsyil-Islâmiyyah lil- Imam Ibnil-Qayyim ma’a Mauqifihi min Ba’dhil-Firaq, Dr. Awwâd bin Abdullah al-Mu’tiq [5] Mengenai aliran Bathiniyah, lihat kupasannya di Majalah As-Sunnah, Edisi 01/Tahun X/1427 H/2006 M, hlm. 54-57 Home /A9. Fiqih Dakwah Firqah.../Kekeliruan Pembagian Hakikat dan... Inilah menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakekat atau pribadi manusia. Sehingga dengan hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum dan yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya. Karena pada diri manusia tidak hanya memiliki jiwa insani (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani, maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat
Assalamualaikum wr wb. Pengunjung blog Hikmah Kehidupan yang terhormat kali ini kami menampilkan artikel tentang Arti dan Hakekat Taqwa Menurut Imam Ali ra. Hakikat Taqwa Menurut Sayyidina Ali Sayyidina Ali Karromallahu wajhah menerangkan bahwa sejatinya taqwa tidaklah sekedar istitsalul awamir waj tinabun nawahi, tetapi taqwa itu adalah الخوف من الجليل والعمل بالتنزيل والقناعة بالقليل والإستعداد ليوم الرحيل takut kepada Allah yang bersifat Jalal, dan beramal dengan dasar al-Qur’an at-tanzil dan menerima qona’ah terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari perlihan hari akhir. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Marilah bersama-sama kita saling menasehati akan pentingnya meningkatkan ketaqwaan kepada Allah swt. sesungguhnya ketaqwaan merupakan kunci menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat. Jama’ah Jum’ah yang Dirahmati Allah Seringkali kita mendengar istilah taqwa’ begitu seringnya sehingga tidak terpikir oleh kita apakah sejatinya makna taqwa. Seolah-olah ketika telinga kita menangkap kata taqwa’ maka sudah menjadi mafhum bahwa yang dimaksudkan adalah menjalankan berbagai amal shaleh. Padahal tidak selamanya demikian. Memang, sebagain ulama mempermudah pemahaman taqwa dengan menjelaskan bahwa taqwa adalah ’imtitsalul awamiri waj tinabun nawahi’ mengerjakan segala perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. kalimat sederhana yang terkesan sangat global. Sehingga mudah diingat namun susah dicerna dan dijabarkan, mungkin karena terlalu singkat. Oleh karenanya dalam kesempatan ini khatib ingin sekali menerangkan makna taqwa sebagaimana diterangkan oleh Sayyidina Ali Karromallahu wajhah yang dikutip dalam kitab al-Manhajus Sawi, oleh al-allamah al-Muhaqqiq al-Habib Zain bin Ibrahim bin Smith. Sayyidina Ali membeberkan kepada kita makna taqwa yang terbentang dalam empat hal yaitu; الخوف من الجليل والعمل بالتنزيل والقناعة بالقليل والإستعداد ليوم الرحيل Bahwa taqwa adalah takut kepada Allah yang bersifat Jalal, dan beramal dengan dasar al-Qur’an at-tanzil dan menerima qona’ah terhadap yang sedikit, dan bersiap-siap menghadapi hari akhir perlihan hari akhir. Jama’ah jum’ah yang berbahagia Pertama; Al-khaufu minal Jalil artinya bahwa taqwa itu akan menjadikan seseorang merasa takut kepada Allah swt yang memiliki sifat Jalal. Takut melanggar berbagai aturan dan ketentuan-Nya. Sehingga apapun yang akan diperbuatnya selalu dipertimbangkan terlebih dahulu. Tangan tidak akan digunakan untuk memungut benda yang bukan miliknya tanpa izin. Kaki tidak digunakan untuk berjalan ke aarah yang salah, demikian juga mata dan telinga tidak akan difungsikan sebagai alat mendurhakai-Nya. Maka taqwa dalam bingkai Al-khaufu minal Jalil, lebih bernuansa penghindaran dan pencegahan’ dari pada pelaksanaan’. Karena sesungguhnya ketakutan’ itu akan menyebabkan seseorang enggan melakukan tindak kesalahan. Seperti halnya seorang anak kecil yang takut bermain air hujan karena takut kepada orang tuanya. Kedua; wal amalu bit tanzil, menghindari sesuatu karena takut kesalahan dalam konsep taqwa tidak lantas menjadikan seseorang tidak berbuat apa-apa, karena hal taqwa juga menuntut tindakan baik yang berdasar pada al-Qur’an yang diturunkan at-tanzil sebagai pedoman hidup dan dasar bersyariat bagi kaum muslim. Maka segala amal orang yang bertaqwa berdasar pada al-Qur’an, dan mereka tidak akan melakukan sesuatu secara serampangan tanpa adanya dalil yang mendasarinya baik al-Qur’an, Hadits, Ijam’ maupun qiyas. Jama’ah jum’ah yang Dimuliakan Allah Ketiga; al-Qana’atu bil Qalil, artinya orang yang bertaqwa akan selalu merasa cukup dengan rizki yang sedikit, sesungguhnya orang yang memiliki rizqi yang sedikit dan merasa cukup dengan rizqi tesebut adalah bukti sekaligus tanda bahwa orang itu dicintai oleh Allah swt. Sebagaimana yang disabdakan rasulullah saw. إن الله إذا أحب عبدا رزقه كفافا Bahwa jika Allah mencintai seorang hamba ia akan memberikan rizki yang pas-pasan kepadanya. Artinya pas-pasan adalah tidak memiliki kelebihan selain untuk menutupi kebutuhan pokoknya, inilah tanda orang taqwa yang dicintai Allah swt. Oleh karena itu dalam kenyataannya tidak seorangpun hamba yang hidup pas-pasan bertindak secara berlebihan, berhura-hura dan doyan belanja. Karena berbagai macam keglamouran hidup itu sangat dibenci oleh Allah swt. menyebabkan manusia melupakan Tuhannya. Itulah bukti hamba itu dicintai oleh Allah. Berbeda sekali dengan seorang yang memiliki limpahan harta yang berlebih. Maka di kala waktu luang setan akan segera menghampirinya dan membujuk untuk berbuat hura-hura, jalan-jalan berekreasi ke tepi pantai atau santai santai di menikmati keremangan malam atau malah mencari kesibukan diluar pengetahuan pasangannya. Sesungguhnya Allah tidak mencintai orang-orang yang sepertin ini. Maka menjadi amat penting memeperhatikan sabda Rasulullah saw selanjutnya yang berbunyi طوبى لمن هدي الإسلام وكان رزقه كفافا ورضي به Beruntung sekali orang yang mendapatkan petunjukIslam, yang mempunyai rizqi pas-pasan dan rela dengan rizqi yang pas-pasan itu. Ridhda atau rela dengan kesedikitan itu menjadi satu sarat tersendiri. Sebagai pertandanya orang tersebut tidak pernah berkeluh-kesah akan keadaanya. Banyak sekali hamba yang merasa cukup dengan rizqi yang diterimanya, saying sekali ia sering keluhan-keluhan. Sesungguhnya hal yang demikian itu mengurangi ketaqwaan. Dan keempat, al-isti’dadu li yaumir rakhil, adalah bersiap-siap menghadapi hari perpindahan. Perpindahan dari alam dunia ke alam kubur lalu ea lam akhirat. Artinya segala amal orang yang bertaqwa senantiasa dalam ranga menyiapkan diri akan hadirnya hari kematian. yaitu hari keberangkatan dari alam dunia menuju alam akhirat. Oleh karena itu ketika Rasulullah ditanya “siapakah manusia yang paling cerdas dan paling mulia di hadapan Allah?” beliau menjawab mereka adalah manusia yang أكثرهم ذكرا للموت وأشدهم إستعدادا له Manusia yang paling banyak mengingat kematian dan paling semangat mempersiapka diri menghadapinya. Ini juga merupakan tuntunan praktis bagi umat muslim meningkatkan ketaqwaannya, yaitu selalu mengingat kematian Karena, seorang yang mengingat kematian ia tidak akan mudah terjerumus dalam kubangan dosa. loading...
Namunsekali Anda telah terhindar dari segala hal dalam perenungan kepada Dia (Allah), Anda akan tentram di dalam ketentraman. Kemudian Imam Al Ghozali berkata : “Apabila anda berhenti mengingat yang tak pernah ada dan sibuk mengingat Dia yang senantiasa Ada. Kau mengucap Allah dan bebas dari segala hal yang lain”. Dzikir Pembuka
Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Setiap kali mendengar khutbah jumat, khotib selalu mengajak dan menyeru marilah kita bertaqwa kepada Allah, marilah kita tingkatkan kualitas taqwa kita kepada Allah. Apakah seruan ini sudah benar-benar kita laksanakan, kita wujudkan, kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari ? Sudahkah kita mencapai derajat taqwa ? Untuk lebih memantapkan lagi taqwa kita kepada Allah, khotib akan menyampaikan pembahasan tentang makna taqwa, ciri-ciri orang taqwa dan keutamaan-keutamaan taqwa. Pada khutbah beberapa Jumat yang lalu khotib telah menyampaikan makna taqwa menurut Imam Qusyairi, yaitu bahwa seseorang dapat disebut telah memperoleh derajat taqwa apabila memiliki 4 empat sifat, antara lain tawadlu, qona’ah, wara dan yakin. Pada kesempatan Khutbah sekarang ini Kotib akan menyampaiakan makna Taqwa menurut Imam Ghazali, seorang ulama, wali Allah, ahli tasawuf terkenal dari Persia, 450 H / 1058 M. Semoga Allah merahmati dan memuliakannya. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Imam Ghazali berkata kata Taqwa didalam al-Quran memiliki 3 makna, yaitu mempunyai arti rasa takut dan ngeri haibah, mempunyai arti ketaantan dan ibadah, dan mempunyai arti membersihkan hati dari dosa-dosa. Dari pengertian taqwa menurut Imam Ghazali itu mengandung makna, antara lain Pertama Taqwa itu mempunyai arti rasa takut dan ngeri haibah Takut terhadap siksa Allah, azab Allah, murka Allah, yang begitu dasyat, begitu hebat, disebabkan karena kita ingkar, kufur, melanggar aturan Allah. Allah telah gambarkan bagaimana umat-umat terdahulu yang ingkar, kufur kepada-Nya, kemudian Allah binasakan, Allah hancurkan mereka; bagaimana kaum Add Nabi Hud As. diazab dengan angin topan yang sangat dingin lagi amat kencang, 7 hari 7 malam.QS. Al Qomar 19 dan 29 , kaum Sadum Nabi Luth diazab dengan hujan batu QS. Al Qomar 34 , kaum Tsamud Nabi Shaleh diazab dengan suara guntur yang keras menggelegar QS. Al Qomar 31 , kaum Musa diazab dengan bumi tebalik, wajah mereka menjadi monyet Raaf 103 , kaum Saba Nabi Nuh diazab dengan banjir yang dasyat QS. Al Qomar 12 , Raja Fir’aun dan pengikutnya ditenggelamkan dilautan. QS. Al Araaf 130-134 dan Qorun dibenamkan diperut bumi QS. Al Qashash 81 Taqwa juga mengandung arti takut kepada Allah’, Takut terperosok kedalam perbuatan keji dan munkar sehingga kita berhati-hati, waspada dan penuh keseriusan menjaga hati, menjaga diri, menjaga sikap, menjaga perilaku kita dari perbuatan hina, nista dan tercela. Takut berbuat dosa; takut meninggalkan sholat, takut kalau berbuat jahat, takut melakukan maksiat, takut melupakan akhirat, takut melupakan taubat, takut banyak membuka aurat, takut suka mengumbar syahwat, Inilah takut-takut yang akan menyelamatkan kita, yang akan menjaga harkat, derajat dan martabat kita, yang akan menjaga kemuliaan dan kehormatan kita. Oleh karena itu mari kita tanamkan, benamkan, hujamkan perasaan takut khauf kepada Allah dalam diri kita. Dengan perasaan takut kepada Allah diharapkan akan melahirkan sikap hati-hati, dan memperbanyak ibadah. Allah SWT berfirman dalam Quran Surat Al Baqarah ayat 281 وَٱتَّقُواْ يَوۡمً۬ا تُرۡجَعُونَ فِيهِ إِلَى ٱللَّهِ‌ۖ ثُمَّ تُوَفَّىٰ كُلُّ نَفۡسٍ۬ مَّا ڪَسَبَتۡ وَهُمۡ لَا يُظۡلَمُونَ dan peliharalah dirimu dari azab yang terjadi pada hari yang pada waktu itu kamu semua dikembalikan kepada Allah. kemudian masing-masing diri diberi balasan yang sempurna terhadap apa yang telah dikerjakannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya dirugikan. Kedua Taqwa itu mempunyai arti ketaatan dan ibadah Taqwa itu berarti taat, patuh, tunduk, pasrah kepada Allah, yaitu melaksanakan aturan-aturan Allah dan menjauhi larangannya imtitsalul awamiri waj tinabun nawahi dengan penuh kesadaran, keikhlsan, ketundukan, kepasrahan hanya kepada Allah. Taqwa itu ibadah, mengabdi, berbakti, berserah diri, menghambakan diri, mengabdikan diri kepada Illahi Rabbi, Allah SWT, dengan ruku, sujud, tahajud dan dengan beramal soleh. Allah SWT berfirman dalam Quran Surat Al Imran ayat 102 يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِۦ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنتُم مُّسۡلِمُونَ Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Karena taqwa bermakna taat dan beribadah, maka bagi hamba yang taat dan beribadah Allah akan penuhi hati dan tangannya dengan kekayaan,sebagaimana Rasulullah SAW bersabda “ Tuhan kalian berkata, Wahai anak Adam, beribadahlah kepadaKu sepenuhnya, niscaya Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tangannya dengan rezeki. Wahai anak Adam, jangan jauhi Aku, sehingga aku penuhi hatimu dengan kefakiran dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan kesibukan “ HR. Al Hakim . Dalam Hadits lain Nabi SAW bersabda “ Tiada seorang hamba yang taat kepadaKu melainkan Aku memberinya sebelum dia minta, dan mengabulkan permohonannya sebelum dia berdoa, dan mengampuni dosanya sebelum dia mohon pengampunan istighfar’ “ HR. Ad Dailami . Itulah balasan bagi orang yang bertaqwa, taat dan rajin beribadah kepada Allah SWT. Ketiga Taqwa itu mempunyai arti membersihkan hati dari dosa-dosa Allah SWT berfirman dalam Quran Surat An Nuur 52 وَمَن يُطِعِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُ ۥ وَيَخۡشَ ٱللَّهَ وَيَتَّقۡهِ فَأُوْلَـٰٓٮِٕكَ هُمُ ٱلۡفَآٮِٕزُونَ dan barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya dan takut kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, Maka mereka adalah orang- orang yang mendapat kemenangan Takut kepada Allah disebabkan dosa, kesalahan yang telah dilakukan, aib dan noda yang dimilikinya. Kemudian menyesalinya dengan sunguh-sungguh, berjanji tidak mengulanginya. Orang taqwa adalah orang yang memelihara diri, menjaga kesucian diri, menjaga kesucian hati dari segala macam dosa, kesalahan dan dari sifat-sifat tercela; ujub, riyaa, takabbur, rakus, iri, dengki, dendam, kemudian menghiasinya dengan sifat-sifat terpuji, seperti syukur, ridho, sabar, qonaah, zuhud, tawakkal dan ikhlas. Ma’asyiral Muslimin Rahimakumullah Mudah-mudahan kita semua yang hadir di mesjid ini termasuk orang-orang yang bertaqwa, taqwa yang sebenar-benarnya, taqwa yang tidak hanya di bibir saja, atau hanya kata-kata belaka yang tak bermakna, tapi taqwa yang menyatukan satunya lisan dengan perbuatan, satunya ucapan dengan tindakan, satunya kata dengan praktika, satunya dakwah dengan lampah, satunya ucap dengan sikap dan satunya teori dengan manifestasi. بَارَكَ اللهُ لِيْ وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ، وَتَقَبَلَّ اللهُ مِنِّيْ وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ، إِنَّهُ هُوَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ Sumber dari berbagai sumber internet 3 Lewat Jalan Dzikir Kalimat Taqwa Tersebut dalam al-Qur’an: "Dan tetapkanlah (hubungkanlah) jiwamu dengan kalimah Taqwa" Untuk mencapai taqwa, Ibadah sholat, Puasa, Dzikir kalimah Taqwa harus selalu ditingkatkan. (QS: Al Fath : 26) Apabila Taqwa telah tercapai tanda-tandanya diantaranya sebagaimana tersebut di dalam al-Qur’an :
Pendahuluan الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله وآله وصحبه أجمعين، أما بعد Istilah “sufi” atau “tasawuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat awam, istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas orang awam beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu di tangan dan bibir yang selalu bergerak melafazkan zikir, yang semua ini semakin menambah keyakinan orang-orang awam bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali kekasih Allah ta’ala Sebelum kami membahas tentang hakikat tasawuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan cuma dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata, akan tetapi yang menjadi barometer adalah sesuai tidaknya pemahaman tersebut dengan Al Quran dan As Sunnah menurut apa yang dipahami salafush shalih. Sebagai bukti akan hal ini kisah khawarij, kelompok yang pertama menyempal dalam islam yang diperangi oleh para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam di bawah pimpinan Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu anhu berdasarkan perintah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Padahal kalau kita melihat pengakuan lisan dan penampilan lahir kelompok khawarij ini maka tidak akan ada seorang pun yang menduga bahwa mereka menyembunyikan penyimpangan dan kesesatan yang besar dalam batin mereka, sebagaimana yang digambarkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika beliau menjelaskan ciri-ciri kelompok khawarij ini, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda “…Mereka orang-orang khawarij selalu mengucapkan secara lahir kata-kata yang baik dan indah, dan mereka selalu membaca Al Quran tapi bacaan tersebut tidak melampaui tenggorokan mereka tidak masuk ke dalam hati mereka…” HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Dan dalam riwayat yang lain beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda “… Bacaan Al Quran kalian wahai para sahabatku tidak ada artinya jika dibandingkan dengan bacaan Al Quran mereka, demikian pula shalat kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan shalat mereka, demikian pula puasa kalian tidak ada artinya jika dibandingkan dengan puasa mereka HSR Imam Muslim 7/175, Syarh An Nawawi, cet. Darul Qalam, dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu. Maka pada hadits yang pertama Beliau shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan tentang ciri-ciri mereka yang selalu mengucapkan kata-kata yang baik dan indah tapi cuma di mulut saja dan tidak masuk ke dalam hati mereka, dan pada hadits yang ke dua Beliau shallallahu alaihi wa sallam menerangkan tentang penampilan lahir mereka yang selalu mereka tampakkan untuk memperdaya manusia, yaitu kesungguhan dalam beribadah yang bahkan sampai kelihatannya melebihi kesungguhan para Sahabat radhiyallahu anhum dalam beribadah karena memang para Sahabat radhiyallahu anhum berusaha keras untuk menyembunyikan ibadah mereka karena takut tertimpa riya Yang kemudian prinsip ini diterapkan dengan benar oleh Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, sahabat yang meriwayatkan hadits di atas, tatkala kelompok khawarij keluar untuk memberontak dengan satu slogan yang mereka elu-elukan “Tidak ada hukum selain hukum Allah azza wa jalla“. Maka Ali Bin Abi Thalib radhiyallahu anhu menanggapi slogan tersebut dengan ucapan beliau radhiyallahu anhu yang sangat masyhur -yang seharusnya kita jadikan sebagai pedoman dalam menilai suatu pemahaman- yaitu ucapan beliau radhiyallahu anhu “slogan mereka itu adalah kalimat yang nampaknya benar tetapi dimaksudkan untuk kebatilan.” Semoga Allah azza wa jalla Merahmati Imam Abu Muhammad Al Barbahari yang mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya Syarhus Sunnah dengan ucapan beliau “Perhatikan dan cermatilah -semoga Allah azza wa jalla merahmatimu- semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali kamu terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai kamu tanyakan dan meneliti kembali Apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallamradhiyallahu anhu atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlussunnah? Kalau kamu dapati ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka radhiyallahu anhum berpegang teguhlah kamu dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah sekali-kali kamu meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga akibatnya kamu akan terjerumus ke dalam neraka!” Syarhus Sunnah, tulisan Imam Al Barbahari tahqiq Syaikh Khalid Ar Radadi. Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawuf ini. Definisi Tasawuf/Sufi Kata “Shufi” berasal dari bahasa Yunani “Shufiya” yang artinya hikmah. Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa kata ini merupakan penisbatan kepada pakaian dari kain “Shuf” kain wol dan pendapat ini lebih sesuai karena pakaian wol di zaman dulu selalu diidentikkan dengan sifat zuhud, Ada juga yang mengatakan bahwa memakai pakaian wol dimaksudkan untuk bertasyabbuh menyerupai Nabi Isa Al Masih alaihi sallam Lihat kitab kecil “Haqiqat Ash Shufiyyah Fii Dhau’il Kitab was Sunnah” hal. 13, tulisan Syaikh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata “Ada perbedaan pendapat dalam penisbatan kata “Shufi”, karena kata ini termasuk nama yang menunjukkan penisbatan, seperti kata “Al Qurasyi” yang artinya penisbatan kepada suku Quraisy, dan kata “Al Madani” artinya penisbatan kepada kota Madinah dan yang semisalnya. Ada yang mengatakan “Shufi” adalah nisbat kepada Ahlush Shuffah Ash Shuffah adalah semacam teras yang bersambung dengan mesjid Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang dulu dijadikan tempat tinggal sementara oleh beberapa orang sahabat Muhajirin radhiyallahu anhum yang miskin, karena mereka tidak memiliki harta, tempat tinggal dan keluarga di Madinah, maka Rasullah shallallahu alaihi wa sallam mengizinkan mereka tinggal sementara di teras tersebut sampai mereka memiliki tempat tinggal tetap dan peng- hidupan yang cukup. Lihat kitab Taqdis Al Asykhash tulisan Syaikh Muhammad Ahmad Lauh 1/34, -pen, tapi pendapat ini jelas salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shuffi” dengan huruf “fa’ “yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shaff” barisan yang terdepan di hadapan Allah azza wa jalla, pendapat ini pun salah, karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shaffi” dengan harakat fathah pada huruf “shad” dan huruf “fa’ ” yang didobel. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada “Ash Shafwah” orang-orang terpilih dari semua makhluk Allah azza wa jalla, dan pendapat ini pun salah karena kalau benar demikian maka mestinya pengucapannya adalah “Shafawi”. Ada juga yang mengatakan nisbat kepada seorang yang bernama Shufah bin Bisyr bin Udd bin Bisyr bin Thabikhah, satu suku dari bangsa Arab yang di zaman dulu zaman jahiliah pernah bertempat tinggal di dekat Ka’bah di Mekkah, yang kemudian orang-orang yang ahli nusuk ibadah setelah mereka dinisbatkan kepada mereka, pendapat ini juga lemah meskipun lafazhnya sesuai jika ditinjau dari segi penisbatan, karena suku ini tidak populer dan tidak dikenal oleh kebanyakan orang-orang ahli ibadah, dan kalau seandainya orang-orang ahli ibadah dinisbatkan kepada mereka maka mestinya penisbatan ini lebih utama di zaman para sahabat, para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, dan juga karena mayoritas orang-orang yang berbicara atas nama shufi tidak mengenal qabilah suku ini dan tidak ridha dirinya dinisbatkan kepada suatu suku yang ada di zaman jahiliyah yang tidak ada eksistensinya dalam islam. Ada juga yang mengatakan -dan pendapat inilah yang lebih dikenal- nisbat kepada “Ash Shuf” kain wolMajmu’ul Fatawa, 11/5-6. Lahirnya Ajaran Tasawuf Tasawuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal di zaman para sahabat radhiyallahu anhum bahkan tidak dikenal di zaman tiga generasi yang utama generasi sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in. Ajaran ini baru muncul sesudah zaman tiga generasi ini. Lihat Haqiqat Ash Shufiyyah hal. 14. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Adapun lafazh “Shufiyyah”, lafazh ini tidak dikenal di kalangan tiga generasi yang utama. Lafazh ini baru dikenal dan dibicarakan setelah tiga generasi tersebut, dan telah dinukil dari beberapa orang imam dan syaikh yang membicarakan lafazh ini, seperti Imam Ahmad bin Hambal, Abu Sulaiman Ad Darani dan yang lainnya, dan juga diriwayatkan dari Sufyan Ats Tsauri bahwasanya beliau membicarakan lafazh ini, dan ada juga yang meriwayatkan dariHasan Al Bashri” Majmu’ Al Fatawa 11/5. Kemudian Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwasanya ajaran ini pertama kali muncul di kota Bashrah, Iraq, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota islam lainnya Majmu’ Al Fatawa, 11/6. Berkata Imam Ibnu Al Jauzi “Tasawuf adalah suatu aliran yang lahirnya diawali dengan sifat zuhud secara keseluruhan, kemudian orang-orang yang menisbatkan diri kepada aliran ini mulai mencari kelonggaran dengan mendengarkan nyanyian dan melakukan tari-tarian, sehingga orang-orang awam yang cenderung kepada akhirat tertarik kepada mereka karena mereka menampakkan sifat zuhud, dan orang-orang yang cinta dunia pun tertarik kepada mereka karena melihat gaya hidup yang suka bersenang-senang dan bermain pada diri mereka. Talbis Iblis hal 161. Dan berkata DR. Shabir Tha’imah dalam kitabnya Ash Shufiyyah Mu’taqadan Wa Maslakan hal. 17 “Dan jelas sekali besarnya pengaruh gaya hidup kependetaan Nasrani -yang mereka selalu memakai pakaian wol ketika mereka berada di dalam biara-biara- pada orang-orang yang memusatkan diri pada kegiatan ajaran tasawuf ini di seluruh penjuru dunia, padahal Islam telah membebaskan dunia ini dengan tauhid, yang mana gaya hidup ini dan lainnya memberikan suatu pengaruh yang sangat jelas pada tingkah laku para pendahulu ahli tasawuf.” Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tasawwuf, hal. 13. Dan berkata Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir dalam kitab beliau At Tashawuf, Al Mansya’ wa Al Mashdar hal. 28 “Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawuf yang dulu maupun yang sekarang dan ucapan-ucapan mereka, yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al Quran dan As Sunnah. Dan sama sekali tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat beliau radhiyallahu anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allah azza wa jalla, bahkan justru sebaliknya kita dapati ajaran tasawuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nasrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi dan kezuhudan model agama Budha” Dinukil oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya “Haqiqat At Tashawuf” hal. 14. Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam, hal ini terlihat jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawuf, amalan-amalan asing dan jauh dari petunjuk islam. Dan yang kami maksudkan di sini adalah orang-orang ahli tasawuf zaman sekarang, yang banyak melakukan kesesatan dan kebohongan dalam agama, adapun ahli tasawuf yang terdahulu keadaan mereka masih lumayan, seperti Fudhail bin Iyadh, Al Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain. Lihat kitab Haqiqat At Tashawwuf tulisan Syaikh Shalih Al Fauzan hal. 15 Prinsip-Prinsip Dasar Ajaran Tasawuf yang Menyimpang Dari Petunjuk Al Quran dan As Sunnah* *Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh Syaikh Shalih Al Fauzan dalam kitabnya Haqiqat At Tashawwuf, pembahasan Mauqif Ash Shufiyyah Min Al Ibadah wa Ad Din dengan sedikit perubahan Orang-orang ahli Tasawuf -khususnya yang ada di zaman sekarang- mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlusunnah wal Jamaah, dan menyimpang sangat jauh dari Al Quran dan As Sunnah. Mereka membangun keyakinan dan tata cara peribadatan mereka di atas simbol-simbol dan istilah-istilah yang mereka ciptakan sendiri, yang dapat kita simpulkan sebagai berikut. Pertama, mereka membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah kecintaan saja dan mengenyampingkan aspek-aspek yang lainnya, seperti aspek Khauf rasa takut dan Raja’ harapan, sebagaimana yang terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tasawuf, “Aku beribadah kepada Allah azza wa jalla bukan karena aku mengharapkan masuk surga dan juga bukan karena takut masuk neraka!?”. Memang benar bahwa aspek Mahabbah adalah landasan berdirinya ibadah, akan tetapi ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek Mahabbah saja -sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli tasawuf-, karena ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek Mahabbah, seperti aspek khauf, raja’, dzull penghinaan diri, khudhu’ ketundukkan, doa dan aspek-aspek lain. Salah seorang ulama Salaf berkata “Barang siapa yang beribadah kepada Allah azza wa jalla dengan kecintaan semata maka dia adalah seorang zindiq, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah dengan pengharapan semata maka dia adalah seorang Murji’ah, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah azza wa jalla dengan ketakutan semata maka dia adalah seorang Haruriyyah Khawarij, dan barang siapa yang beribadah kepada Allah azza wa jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan maka dialah seorang mukmin sejati dan muwahhid orang yang bertauhid dengan benar”.Oleh karena itu Allah azza wa jalla memuji sifat para Nabi dan Rasul-Nya shallallahu alaihi wa sallam, yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan siksaan-Nya. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah “Kebanyakan orang-orang yang menyimpang dari jalan Allah, orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran bid’ah berupa sikap zuhud dan ibadah-ibadah yang tidak dilandasi ilmu dan tidak sesuai dengan petunjuk dari Al Quran dan As Sunnah, mereka terjerumus ke dalam kesesatan seperti yang terjadi pada orang-orang Nasrani yang mengaku-ngaku mencintai Allah, yang bersamaan dengan itu mereka menyimpang dari syariat-Nya dan enggan untuk bermujahadah bersungguh-sungguh dalam menjalankan agama-Nya, dan penyimpangan-penyimpangan lainnya” Kitab Al Ubudiyyah, tulisan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah hal. 90, cet. Darul Ifta’, Riyadh. Dari uraian di atas jelaslah bahwa membatasi ibadah hanya pada aspek Mahabbah saja tidaklah disebut ibadah, bahkan ajaran ini bisa menjerumuskan penganutnya ke jurang kesesatan bahkan menyebabkan dia keluar dari agama islam. Kedua, orang-orang ahli tasawuf umumnya dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al Quran dan As Sunnah, tapi yang mereka jadikan pedoman adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka dan ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka, berupa Thariqat-thariqat bid’ah, berbagai macam zikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri, dan tidak jarang mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita yang tidak jelas kebenarannya, mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits yang palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka. Inilah landasan ibadah dan keyakinan ajaran Tasawuf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Orang-orang ahli Tasawuf dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nasrani, yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya, kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang Nabi/Rasul yang terjaga dari kesalahan, maka demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli Tasawuf mereka menjadikan para pemimpin dan guru mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syariat agama bagi mereka”. Ketiga, termasuk doktrin ajaran Tasawuf adalah keharusan berpegang teguh dan menetapi zikir-zikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka, yang kemudian mereka menetapi dan mencukupkan diri dengan zikir-zikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah azza wa jalla dengan selalu membacanya, bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca zikir-zikir tersebut lebih utama daripada membaca Al Quran, dan mereka menamakannya dengan “zikirnya orang-orang khusus”. Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al Quran dan As Sunnah mereka namakan dengan “zikirnya orang-orang umum”, maka kalimat Laa Ilaha Illallah menurut mereka adalah “zikirnya orang-orang umum”, adapun “zikirnya orang-orang khusus” adalah kata tunggal “Allah” dan “zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus” adalah kata Huwa/ Dia. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata “Barang siapa yang menyangka bahwa kalimat Laa Ilaha Illallah adalah zikirnya orang-orang umum, dan zikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal “Allah”, serta zikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti Huwa/Dia, maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan. Di antara mereka ada yang berdalil untuk membenarkan hal ini, dengan firman Allah azza wa jalla قُلِ اللّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ “Katakan Allah yang menurunkannya, kemudian sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka, biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya” QS. Al An’aam 91. Berdalil dengan cara seperti ini adalah kesalahan yang paling nyata yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf, bahkan ini termasuk menyelewengkan ayat Al Quran dari maknanya yang sebenarnya, karena sesungguhnya kata “Allah” dalam ayat ini disebutkan dalam kalimat perintah untuk menjawab pertanyaan sebelumnya , yaitu yang Allah azza wa jalla dalam firman-Nya وَمَا قَدَرُواْ اللّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُواْ مَا أَنزَلَ اللّهُ عَلَىبَشَرٍ مِّن شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاء بِهِ مُوسَى نُوراًوَهُدًى لِّلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيراًوَعُلِّمْتُم مَّا لَمْ تَعْلَمُواْ أَنتُمْ وَلاَ آبَاؤُكُمْ قُلِ اللّهُ “Katakanlah Siapakah yang menurunkan kitab Taurat yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang terpisah-pisah, kamu perlihatkan sebagiannya dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapakmu tidak mengetahuinya?, katakanlah Allah yang menurunkannya” QS. Al An’aam91. Jadi maknanya yang benar adalah “Katakanlah Allah, Dialah yang menurunkan kitab Taurat yang dibawa oleh Nabi Musa shallallahu alaihi wa sallam”Kitab Al Ubudiyyah Keempat, sikap Ghuluw berlebih-lebihan/ekstrem orang-orang ahli Tasawuf terhadap orang-orang yang mereka anggap wali dan guru-guru thariqat mereka, yang bertentangan dengan aqidah Ahlusunnah wal Jamaah, karena di antara prinsip aqidah Ahlusunnah wal Jamaah adalah berwala mencintai/berloyalitas kepada orang-orang yang dicintai Allah azza wa jalla dan membenci musuh-musuh Allah azza wa jalla. Allah azza wa jalla berfirman إِنَّمَا وَلِيُّكُمُ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِينَ آمَنُواْ الَّذِينَيُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ رَاكِعُونَ “Sesungguhnya wali kekasih/penolongmu hanyalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah.” QS. Al Maaidah 55. Dan Allah azza wa jalla berfirman يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءتُلْقُونَ إِلَيْهِم بِالْمَوَدَّةِ “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia.” QS. Al Mumtahanah 1. Wali kekasih Allah azza wa jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah azza wa jalla. Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka. Dan perlu ditegaskan di sini bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan pada orang-orang tertentu, bahkan setiap orang yang beriman dan bertakwa dia adalah wali kekasih Allah azza wa jalla, akan tetapi kedudukan sebagai wali Allah azza wa jalla tidaklah menjadikan seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlusunnah wal Jamaah. Adapun makna wali menurut orang-orang ahli Tasawuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlusunnah wal Jama’ah, karena orang-orang ahli Tasawuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu yang bertentangan dengan petunjuk Al Quran dan As Sunnah dalam masalah ini, sehingga mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu tanpa dilandasi dalil dari syariat yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut. Bahkan tidak jarang mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, bahkan kepada orang yang dikenal punya penyimpangan dalam keimanannya, seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah azza wa jalla. Dan terkadang mereka menganggap bahwa kedudukan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali” melebihi kedudukan para Nabi shallallahu alaihi wa sallam, sebagaimana ucapan salah seorang dari mereka Kedudukan para Nabi di alam Barzakh Sedikit di atas kedudukan Rasul, dan di bawah kedudukan wali Orang-orang ahli Tasawuf juga berkata, “Sesungguhnya para wali mengambil agama mereka langsung dari sumber tempat Malaikat Jibril shallallahu alaihi wa sallam mengambil wahyu yang disampaikan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?!”. Dan mereka juga menganggap bahwa wali-wali mereka itu terjaga dari kesalahan?!. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Kamu akan dapati mayoritas orang-orang ahli Tasawuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia, seperti menunjuk kepada seseorang kemudian orang itu mati, terbang di udara menuju ke Mekkah atau tempat-tempat lainnya, terkadang berjalan di atas air, mengisi teko dari udara dengan air sampai penuh, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menunaikan kebutuhannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang gaib tidak nampak, atau orang yang sakit dan yang semisalnya. Padahal kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidaklah menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah azza wa jalla. Bahkan orang-orang yang beriman dan bertakwa sepakat dan sependapat mengatakan bahwa jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terperdaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? apakah orang tersebut selalu menaati perintah beliau shallallahu alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? Oleh karena itulah kita tidak pernah mendengar ada seorang muslim pun yang menganggap bahwa Superman dan Gatotkaca adalah wali-wali Allah, padahal mereka ini katanya bisa terbang di udara?! -pen …karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab dan orang munafik, dan bisa dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin, maka sama sekali tidak boleh dianggap bahwa setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas adalah wali Allah”. Majmu’ Al Fatwa, 11/215. Kemudian ternyata kesesatan orang-orang ahli tasawuf tidak sampai di sini saja, karena sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti menentukan kejadian-kejadian di alam semesta ini, mengetahui hal-hal yang gaib, memenuhi kebutuhan orang-orang yang meminta pertolongan kepada mereka dalam perkara-perkara yang tidak mampu dilakukan kecuali oleh Allah azza wa jalla dan sifat-sifat ketuhanan lainnya. Kemudian sikap berlebih-lebihan ini menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah azza wa jalla, dengan membangun kuburan “para wali” tersebut, meyakini adanya keberkahan pada tanah kuburan tersebut, melakukan berbagai macam kegiatan ibadah padanya, seperti thawaf dengan mengelilingi kuburan tersebut, bernazar dengan maksud mendekatkan diri kepada penghuni kubur dan perbuatan-perbuatan syirik lainnya. Kelima, termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah mendekatkan diri ? kepada Allah azza wa jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan, yang semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah azza wa jalla. DR Shabir Tha’imah berkata dalam kitabnya Ash Shufiyyah, Mu’taqadan wa Masakan, “Saat ini tarian sufi modern telah dipraktekkan pada mayoritas thariqat-thariqat sufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka, di mana para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita, sedangkan para murid senior dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat bohong yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “…Ketahuilah bahwa perbuatan orang-orang ahli tasawuf ini sama sekali tidak pernah dilakukan di awal tiga generasi yang utama di semua negeri islam Hijaz, Syam, Yaman, Mesir, Magrib, Irak, dan Khurasan. Orang-orang yang shalih, taat beragama dan rajin beribadah pada masa itu tidak pernah berkumpul untuk mendengarkan siulan yang berisi lantunan musik, tepukan tangan, tabuhan rebana dan ketukan tongkat seperti yang dilakukan oleh orang-orang ahli Tasawuf, perbuatan ini adalah perkara yang diada-adakan bid’ah yang muncul di penghujung abad kedua, dan ketika para Imam Ahlusunnah melihat perbuatan ini mereka langsung mengingkarinya, sampai-sampai Imam Asy Syafi’i radhiyallahu anhu berkata “Aku tinggalkan Baghdad, dan di sana ada suatu perbuatan yang diada-adakan oleh orang-orang zindiq munafik tulen yang mereka namakan At Taghbir At Taghbir adalah semacam Qasidah yang dilantunkan dan berisi ajakan untuk zuhud dalam urusan dunia, lihat kitab Igatsatul Lahfan tulisan Imam Ibnul Qayyim, maka silakan pembaca bandingkan At Taghbir ini dengan apa yang di zaman sekarang ini disebut sebagai Nasyid Islami ?, apakah ada perbedaan di antara keduanya? Jawabnya keduanya serupa tapi tak beda! Kalau demikian berarti hukum nasyid islami adalah…., saya ingin mengajak pembaca sekalian membayangkan semisalnya ada seorang presiden yang hobi dengar nasyid islami, apa kita tidak khawatir kalau dalam upacara bendera sewaktu acara pengibaran bendera akan diiringi dengan nasyid islami!!? -pen, yang mereka jadikan senjata untuk menjauhkan kaum muslimin dari Al Quran”. Dan Imam Yazid bin Harun berkata “orang yang mendendangkan At Taghbir tidak lain adalah orang fasik, kapan munculnya perbuatan ini?” Imam Ahmad ketika ditanya tentang perbuatan ini, beliau menjawab, “Aku tidak menyukainya karena perbuatan ini adalah bid’ah”, maka beliau ditanya lagi apakah anda mau duduk bersama orang-orang yang melakukan perbuatan ini? Beliau menjawab, “Tidak”. Demikian pula Imam-Imam besar lainnya mereka semua tidak menyukai perbuatan ini. Dan para Syaikh ulama yang Shalih tidak ada yang mau menghadiri menyaksikan perbuatan ini, seperti Ibrahim bin Adham, Fudhail bin Iyadh, Ma’ruf Al Karkhi, Abu Sulaiman Ad Darani, Ahmad bin Abil Hawari, As Sariy As Saqti dan syaikh-syaikh lainnya” Majmu’ Al Fatawa 11/569. Maka orang-orang ahli Tasawuf yang mendekatkan diri ? kepada Allah azza wa jalla dengan cara-cara seperti ini, adalah tepat jika dikatakan bahwa mereka itu seperti orang-orang penghuni Neraka yang dicela oleh Allah azza wa jalla dalam firman-Nya الَّذِينَ اتَّخَذُواْ دِينَهُمْ لَهْواً وَلَعِباً وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُالدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنسَاهُمْ كَمَا نَسُواْ لِقَاء يَوْمِهِمْ هَـذَا وَمَاكَانُواْ بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ “yaitu orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka.” Maka pada hari kiamat ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan sebagaimana mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami” QS. Al A’raaf 51. Keenam, juga termasuk doktrin ajaran Tasawuf yang sesat adalah apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan yang jika seseorang telah mencapainya maka dia akan terlepas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran Tasawuf, karena asal mula ajaran Tasawuf -sebagaimana yang diterangkan oleh Ibnul Jauzi- adalah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur. Kemudian Ibnul Jauzi mengatakan “Inilah asal mula ajaran Tasawuf yang dipraktekkan oleh pendahulu-pendahulu mereka, kemudian Iblis mulai memalingkan dan menyesatkan mereka dari generasi ke generasi berikutnya dengan berbagai macam syubhat kerancuan dan talbis pencampuradukan, kemudian penyimpangan ini terus bertambah sehingga Iblis berhasil dengan baik menguasai generasi belakangan dari orang-orang ahli Tasawuf. Pada mulanya, dasar upaya penyesatan yang diterapkan oleh Iblis kepada mereka adalah memalingkan mereka dari mempelajari ilmu agama dan mengesankan kepada mereka bahwa tujuan utama adalah semata-semata beramal tanpa perlu ilmu,dan ketika Iblis telah berhasil memadamkan cahaya ilmu dalam diri mereka, mulailah mereka berjalan tanpa petunjuk dalam kegelapan/kesesatan, maka di antara mereka ada yang dikesankan padanya bahwa tujuan utama ibadah adalah meninggalkan urusan dunia secara keseluruhan, sampai-sampai mereka meninggalkan apa-apa yang dibutuhkan oleh tubuh mereka, bahkan mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, dan mereka lupa bahwa Allah azza wa jalla menjadikan harta bagi manusia untuk kemaslahatan mereka, kemudian mereka bersikap berlebih-lebihan dalam menyiksa diri-diri mereka, sampai-sampai ada di antara mereka yang tidak pernah tidur sama sekali. Meskipun niat mereka baik sewaktu melakukan perbuatan ini, akan tetapi perbuatan yang mereka lakukan menyimpang dari jalan yang benar. Di antara mereka juga ada yang beramal berdasarkan hadits-hadits yang palsu tanpa disadarinya karena dangkalnya ilmu agama. Kemudian datanglah generasi-generasi setelah mereka yang mulai membicarakan keutamaan lapar, miskin dan bisikan-bisikan jiwa, bahkan mereka menulis kitab-kitab khusus tentang masalah ini, seperti tokoh sufi yang bernama Al Harits Al Muhasibi. Lalu datang generasi selanjutnya yang mulai merangkum dan menghimpun mazhab/ajaran Tasawuf dan mengkhususkannya dengan sifat-sifat khusus, seperti Ma’rifah mengenal Allah dengan sebenarnya??!, Sama’ mendengarkan nyanyian dan lantunan musik, Wajd bisikan jiwa, Raqsh tari-tarian dan Tashfiq tepukan tangan, kemudian ajaran tasawuf terus berkembang dan para guru thariqat mulai membuat aturan-aturan khusus bagi mereka dan membicarakan membangga-banggakan kedudukan mereka orang-orang ahli Tasawuf, sehingga semakin lama mereka semakin jauh dari petunjuk para ulama Ahlusunnah, dan mereka mulai memandang tinggi ajaran dan ilmu mereka ilmu Tasawuf, sampai-sampai mereka namakan ilmu tersebut dengan ilmu batin dan mereka menganggap ilmu syari’at sebagai ilmu lahir??! Dan di antara mereka karena rasa lapar yang sangat hingga membawa mereka kepada khayalan-khayalan yang rusak dan mengaku-ngaku jatuh cinta dan kasmaran kepada Al Haq Allah azza wa jalla, padahal yang mereka lihat dalam khayalan mereka adalah seseorang yang rupanya menawan yang kemudian membuat mereka jatuh cinta berat lalu mereka mengaku-ngaku bahwa yang mereka cintai itu adalah Allah azza wa jalla. Maka mereka ini terombang-ambing di antara kekufuran dan bid’ah, kemudian semakin banyak jalan-jalan sesat yang mereka ikuti sehingga menyebabkan rusaknya akidah mereka, maka di antara mereka ada yang menganut keyakinan Al Hulul, juga ada yang menganut keyakinan Wihdatul Wujud, dan terus-menerus Iblis menyesatkan mereka dengan berbagai bentuk bid’ah penyimpangan sehingga mereka menjadikan untuk diri-diri mereka sendiri tata cara beribadah yang khusus yang berbeda dengan tata cara beribadah yang Allah azza wa jalla syari’atkan dalam agama islam” Kitab Talbis Iblis, tulisan Ibnul Jauzi hal. 157-158. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah ketika beliau ditanya tentang sekelompok orang yang mengatakan bahwa diri mereka telah mencapai tingkatan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat, maka beliau menjawab “Tidak diragukan lagi -menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman- bahwa ucapan ini adalah termasuk kekufuran yang paling besar, bahkan ucapan ini lebih buruk daripada ucapan orang-orang Yahudi dan Nasrani, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mereka mengimani sebagian isi kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya, dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya, dan mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah azza wa jalla, meyakini janji dan ancaman-Nya… Kesimpulannya Bahwa Orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus dengan datangnya agama islam dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik keadaannya dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah azza wa jalla secara keseluruhan, karena dengan keyakinan tersebut berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama, mereka sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah azza wa jalla, bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang pada sebagian dari ajaran agama nabi Ibrahim shallallahu alaihi wa sallam… Dan di antara mereka ada yang berargumentasi untuk membenarkan keyakinan tersebut dengan firman Allah azza wa jalla وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ “Sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini kematian” QS. Al Hijr 99. Mereka berkata makna ayat di atas adalah, “sembahlah Rabbmu sampai kamu mencapai tingkatan ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah kewajiban melaksanakan ibadah atas dirimu…”. Pada Hakikatnya ayat ini justru menyanggah keyakinan mereka dan tidak membenarkannya. Hasan Al Bashri berkata “Sesungguhnya Allah tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian, kemudian Hasan Al Bashri membaca ayat tersebut di atas. Dan makna “Al Yaqin” dalam ayat tersebut adalah “Al Maut” kematian dan peristwa-peristiwa sesudahnya, dan makna ini berdasarkan kesepakatan semua ulama Islam, seperti yang juga Allah azza wa jalla sebutkan dalam Firman-Nya مَاسَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ وَلَمْ نَكُ نُطْعِمُ الْمِسْكِينَ وَكُنَّا نَخُوضُ مَعَ الْخَآئِضِينَ وَكُنَّا نُكَذِّبُ بِيَوْمِ الدِّينِ حَتَّى أَتَانَا الْيَقِينُ “Apa yang menyebabkan kamu wahai orang-orang kafir masuk ke dalam Saqar neraka?, mereka menjawab Kami dahulu di dunia tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat, dan kami tidak pula memberi makan orang miskin, dan kami ikut membicarakan yang bathil bersama orang-orang yang membicarakannya, dan kami mendustakan hari pembalasan, hingga datanglah pada kami sesuatu yang diyakini kematian” QS. Al Muddatstsir 42-47. Maka dalam ayat ini mereka orang-orang kafir menyebutkan bahwa telah sampai kepada mereka Al Yaqin/kematian padahal mereka termasuk penghuni neraka, dan mereka ceritakan perbuatan-perbuatan mereka yang menyebabkan mereka masuk ke dalam neraka meninggalkan shalat dan zakat, mendustakan hari kemudian, membicarakan yang batil bersama orang-orang yang membicarakannya, sampai datang pada mereka Al Yaqin kematian… yang maksudnya adalah datang kepada mereka sesuatu yang telah dijanjikan, yaitu Al Yaqin kematian” Majmu’ Al Fatawa 401-402 dan 417-418. Maka ayat tersebut di atas jelas sekali menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal sampai ketika kematian datang menjemputnya, dan tidak ada sama sekali dalam ajaran islam apa yang dinamakan tingkatan/ keadaan yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana yang disangka oleh orang-orang ahli Tasawuf. Sekte-Sekte Dalam Ajaran Tasawuf* * Ringkasan dari satu pembahasan yang ditulis oleh DR. Muhammad bin Rabi’ Al Madkhali dalam kitabnya Haqiqat Ash Shufiyyah dengan sedikit perubahan. Kita dapat membagi ajaran tasawuf yang ekstrem ke dalam tiga sekte Pertama, sekte Al Isyraqi, sekte ini didominasi oleh ajaran filsafat bersama sifat zuhud. Yang dimaksud dengan Al Isyraqi penyinaran adalah penyinaran jiwa yang memancarkan cahaya dalam hati, sebagai hasil dari pembinaan jiwa dan penggemblengan ruh disertai dengan penyiksaan badan untuk membersihkan dan menyucikan ruh, yang ajaran ini sebenarnya ada pada semua sekte-sekte tasawuf, akan tetapi ajaran sekte ini cuma sebatas pada penyimpangan ini dan tidak sampai membawa mereka kepada ajaran Al Hulul menitisnya Allah azza wa jalla ke dalam diri makhluk-Nya dan Wihdatul Wujud bersatunya wujud Allah azza wa jalla dengan wujud makhluk /Manunggaling Gusti ing kawulo – Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan, meskipun demikian ajaran sekte ini bertentangan dengan ajaran islam, karena ajaran ini diambil dari ajaran agama-agama lain yang menyimpang, seperti agama Budha dan Hindu. Kedua, sekte Al Hulul, yang berkeyakinan bahwa Allah azza wa jalla bisa bertempat/menitis dalam diri manusia -Maha Suci Allah azza wa jalla dari sifat ini-. Keyakinan ini diserukan oleh beberapa tokoh-tokoh ekstrem ahli Tasawuf, seperti Hasan bin Manshur Al Hallaj, yang karenanya para Ulama memfatwakan kafirnya orang ini dan dia harus dihukum mati, yang kemudian dia dibunuh dan disalib -Alhamdulillah- pada tahun 309 H. Di dalam Sya’ir yang dinisbatkan kepadanya dia berkata kitab At Thawasiin, tulisan Al Hallaj Maha suci Allah yang Nasut unsur/sifat kemanusiaan-Nya telah menampakkan rahasia cahaya Lahut unsur/sifat ketuhanan-Nya yang menembus Lalu Tampaklah Dia dengan jelas pada diri makhluk-Nya dalam bentuk seorang yang sedang makan dan sedang minum Hingga sangat jelas Dia terlihat oleh makhluk-Nya seperti jelasnya pandangan alis mata dengan alis mata Dalam sya’ir lain kitab Al Washaaya, tulisan Ibnu Arabi -Maha Suci Allah dari sifat-sifat kotor yang mereka sebutkan- dia berkata Aku adalah yang mencintai dan yang mencintai adalah aku kami adalah dua ruh yang bertempat di dalam satu jasad Maka jika kamu melihatku berarti kamu melihat Dia Dan jika kamu melihat Dia berarti kamu melihat kami Memang Al Hallaj -seorang tokoh besar dan populer di kalangan orang-orang ahli Tasawuf ini- adalah penganut sekte Al Hulul, dia meyakini Dualisme hakikat ketuhanan dan beranggapan bahwa Al Ilah Allah azza wa jalla memiliki dua tabiat yaitu Al Lahut unsur/sifat ketuhanan dan An Nasut unsur/sifat kemanusiaan/kemakhlukan, yang kemudian Al Lahut menitis ke dalam An Nasut, maka ruh manusia -menurut Al Hallaj- adalah Al Lahut ketuhanan yang sebenarnya dan badan manusia itu adalah An Nasut. Kemudian meskipun bandit besar ini telah dihukum mati karena ke-zindiqan-nya sehingga sebagian orang-orang ahli Tasawuf menyatakan berlepas diri darinya-, tetap saja ada orang-orang ahli Tasawuf yang menganggapnya sebagai tokoh besar ahli tasawuf, bahkan mereka membenarkan keyakinan sesat dan perbuatannya, dan mengumpulkan serta membukukan ucapan-ucapan kotornya, mereka itu di antaranya adalah Abul Abbas bin Atha’ Al Baghdadi, Muhammad bin Khafif Asy Syirazi dan Ibrahim An Nashrabadzi, sebagaimana hal tersebut dinukil oleh Al Khathib Al Baghdadi dalam kitab beliau Tarikh Al Baghdad 8/112. Ketiga, sekte Wihdatul Wujud, yaitu keyakinan bahwa semua yang ada pada hakikatnya adalah satu dan segala sesuatu yang kita lihat di alam semesta ini tidak lain merupakan perwujudan/penampakan Zat Ilahi Allah azza wa jalla -maha suci Allah azza wa jalla dari segala keyakinan kotor mereka-. Dedengkot sekte ini adalah wong elek yang bernama Ibnu Arabi Al Hatimi Ath Thai Nama lengkapnya adalah Abu Bakr Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Ahmad Ath Thai Al Hatimi Al Mursi Ibnu Arabi, lihat Siar Al A’lam An Nubala’ tulisan Imam Adz Dzahabi 16/354 yang binasa pada tahun 638 H dan dikuburkan di Damaskus. Dalam kitabnya Al Futuhat Al Makkiyah seperti yang dinukilkan oleh DR. Taqiyuddin Al Hilali dalam kitabnya Al Hadiyyatul Haadiyah dia menyatakan keyakinan kufur ini dengan ucapannya Hamba adalah tuhan dan tuhan adalah hamba duhai gerangan, siapakah yang diberi tugas melaksanakan syariat? Jika kau katakan hamba, maka dia adalah tuhan Atau kau katakan tuhan, maka mana mungkin tuhan diberi tugas?! Dan dalam kitabnya yang lain Fushushul Hikam dia ngelindur “Sesungguhnya orang-orang yang menyembah anak sapi, tidak lain yang mereka sembah kecuali Allah”. Meskipun demikian, orang-orang ahli Tasawuf malah memberikan gelar-gelar kehormatan yang tinggi kepada Ibnu Arabi, seperti gelar Al Arif Billah orang yang mengenal Allah azza wa jalla dengan sebenarnya, Al Quthb Al Akbar pemimpin para wali yang paling agung, Al Misk Al Adzfar minyak kesturi yang paling harum, dan Al Kibrit Al Ahmar Permata yang merah berkilau, padahal orang ini terang-terangan memproklamirkan keyakinan Wihdatul Wujud dan keyakinan-keyakinan kufur dan rusak lainnya, seperti pujian dia terhadap Firaun dan keyakinannya bahwa Firaun mati di atas keimanan, celaan dia terhadap Nabi Harun shallallahu alaihi wa sallam yang mengingkari kaumnya yang menyembah anak sapi -yang semua ini jelas-jelas bertentangan dengan nash Al Quran-, dan keyakinan dia bahwa kafirnya orang-orang Nasrani adalah karena mereka hanya mengkhususkan Nabi Isa alaihis salam sebagai Tuhan, yang kalau seandainya mereka tidak mengkhususkannya maka mereka tidak dikafirkan. Beberapa Contoh Penyimpangan dan Kesesatan Ajaran Tasawuf Berikut kami akan nukilkan beberapa ucapan dan keyakinan sesat dan kufur dari tokoh-tokoh yang sangat diagungkan oleh orang-orang ahli Tasawuf, yang menunjukkan besarnya penyimpangan ajaran ini dan sangat jauhnya ajaran ini dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah. Pertama, Ibnu Al Faridh yang binasa pada tahun 632 H, tokoh besar sufi yang menganut paham wihdatul wujud dan meyakini bahwa seorang hamba bisa menjadi Tuhan, bahkan -yang lebih kotor lagi- dia menggambarkan sifat-sifat Tuhannya seperti sifat-sifat wanita, sampai-sampai dia menganggap bahwa Tuhannya telah menampakkan diri di hadapan Nabi Adam shallallahu alaihi wa sallam dalam bentuk Hawwa istri Nabi Adam alaihis salam?! Untuk lebih jelas silakan merujuk pada kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah hal. 24-33, tulisan Syaikh Abdurrahman al Wakil yang menukil ucapan-ucapan kufur Ibnu Al Faridh ini. Kedua, Ibnu Arabi dalam kitabnya Fushushul Hikam yang berisi segudang kesesatan dan kekufuran. Dalam kitabnya ini dia mengatakan bahwa Rasullah shallallahu alaihi wa sallam lah yang memberikan padanya kitab ini, dan beliau shallallahu alaihi wa sallam berkata kepadanya “Bawalah dan sebarkanlah kitab ini pada manusia agar mereka mengambil manfaat darinya”, kemudian Ibnu Arabi berkata “Maka aku pun segera mewujudkan keinginan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu seperti yang beliau shallallahu alaihi wa sallam tentukan padaku tidak lebih dan tidak kurang, kemudian Ibnu Arabi berkata Kitab ini dari Allah, maka dengarkanlah! dan kepada Allah kembalilah! Fushushul Hikam, dengan perantaraan kitab Hadzihi Hiya Ash Shufiyyah Ketiga, At Tilmisani, seorang tokoh besar Tasawuf, ketika dikatakan padanya bahwa kitab rujukan mereka Fushushul Hikam bertentangan dengan Al Quran, dia malah menjawab, “Seluruh isi Al Quran adalah kesyirikan, dan sesungguhnya Tauhid hanya ada pada ucapan kami”. Maka dikatakan lagi kepadanya, “Kalau kalian mengatakan bahwa seluruh yang ada di alam semesta adalah satu esa, mengapa seorang istri halal untuk disetubuhi, sedangkan saudara wanita haram disetubuhi?” Maka dia menjawab, “Menurut kami semuanya istri dan saudara wanita halal untuk disetubuhi, akan tetapi orang-orang yang terhalang dari penyaksian keesaan seluruh alam, mengatakan bahwa saudara wanita haram disetubuhi, maka kami pun ikut-ikut mengatakan haram”. Dinukil oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, lihat Majmu’ul Fatawa 13/186 Keempat, Abu Yazid Al Busthami, yang pernah berkata Aku heran terhadap orang yang telah mengenal Allah, mengapa dia tetap beribadah kepada-Nya?! Dinukil oleh Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam kitabnya Hilyatul Auliya’, 10/37. Dia juga berkata, “Sungguh aku telah menghimpun amalan ibadah seluruh penghuni tujuh langit dan tujuh bumi, kemudian aku masukkan ke dalam bantal dan aku letakkan di bawah pipiku” Hilyatul Auliya’ 10/35-36. Kelima, Abu Hamid Al Ghazali, seorang yang termasuk tokoh-tokoh ahli Tasawuf yang paling besar dan tenar, di dalam kitabnya Ihya Ulumud Din ketika dia membicarakan tingkatan-tingkatan dalam tauhid, dia mengatakan, “Dalam Tauhid ada empat tingkatan … Tingkatan yang kedua Dengan membenarkan makna lafazh di dalam hati sebagaimana yang dilakukan oleh umumnya kaum muslimin, dan ini adalah keyakinannya orang-orang awam?! Tingkatan yang ketiga mempersaksikan makna tersebut dengan jalan Al Kasyf penyingkapan tabir melalui perantaraan cahaya Al Haq Allah azza wa jalla dan ini adalah tingkatan Al Muqarrabin, yaitu dengan seseorang melihat banyaknya makhluk di alam semesta, akan tetapi dia melihat semuanya bersumber dari Zat Yang Maha Tunggal lagi Maha Perkasa, dan tingkatan yang keempat dengan tidak menyaksikan di alam semesta ini kecuali satu zat yang esa, dan ini merupakan penyaksian para Shiddiqin, dan diistilahkan oleh orang ahli Tasawuf dengan sebutan Al Fana’ Fit Tauhid telah melebur dalam tauhid/pengesaan karena dia tidak melihat kecuali satu, bahkan dia tidak melihat dirinya sendiri… Dan inilah puncak tertinggi dalam tauhid. Jika anda bertanya bagaimana mungkin seseorang tidak melihat kecuali hanya satu saja, padahal dia melihat langit, bumi dan semua benda-benda yang benar-benar nyata, dan itu banyak sekali? dan bagaimana sesuatu yang banyak menjadi hanya satu? Ketahuilah bahwa ini adalah puncak ilmu Mukasyafat tersingkapnya tabir maksudnya adalah cerita bohong orang-orang ahli Tasawuf yang bersumber dari bisikan jiwa dan perasaan mereka, yang sama sekali tidak berdasarkan Al Quran dan As Sunnah, -pen, dan rahasia-rahasia ilmu ini tidak boleh ditulis dalam sebuah kitab, karena orang-orang yang telah mencapai tingkatan Ma’rifah berkata, membocorkan rahasia ketuhanan adalah kekafiran’. Sebagaimana seorang manusia dikatakan banyak bila anda melihat rohnya, jasad, sendi-sendi, urat-urat, tulang belulang dan isi perutnya, padahal dari sudut pandang lain dikatakan dia adalah satu manusia” Lihat kitab Ihya Ulumud Din 4/241-242. Al Ghazali juga berkata, “Pandangan terhadap tauhid jenis pertama, yaitu pandangan tauhid yang murni, dengan pandangan ini, Anda pasti akan dikenalkan bahwa Dialah yang bersyukur dan disyukuri, dan Dialah yang mencintai dan dicintai, ini adalah pandangan orang yang meyakini bahwa tidaklah ada di alam semesta ini melainkan Dia Allah azza wa jalla” Ibid, 4/83. Keenam, Asy Sya’rani, seorang tokoh besar Tashawuf yang telah menulis sebuah kitab yang berjudul Ath Thabaqat Al Kubra, yang memuat biografi tokoh-tokoh ahli Tasawuf dan kisah-kisah kotor yang dianggap oleh orang-orang ahli Tasawuf sebagai tanda kewalian. Di antaranya kisah seorang wali ? yang bernama Ibrahim Al Uryan, orang ini bila naik mimbar dan berceramah selalu dalam keadaan telanjang bulat!? lihat At Thabaqat Al Kubra 2/124 Kisah lainnya tentang seorang wali Setan yang bernama Syaikh Al Wuhaisyi yang bertempat tinggal di rumah pelacuran, yang mana setiap ada orang yang selesai berbuat zina, dan hendak meninggalkan tempat tersebut, dia berkata kepadanya “Tunggulah sebentar hingga aku selesai memberikan syafaat untukmu sebelum engkau meninggalkan tempat ini!?” Dan di antara kisah tentang orang ini bahwa setiap kali ada seorang pemuka agama setempat sedang menunggang keledai, dia memerintahkannya untuk segera turun, lalu berkata kepadanya Peganglah kepala keledaimu, agar aku dapat melampiaskan birahiku padanya!? lihat At Thabaqat Al Kubra 2/129-130 Penutup Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita semua bahwa ajaran Tasawuf adalah ajaran sesat yang menyimpang sangat jauh dari petunjuk Al Quran dan As Sunnah, yang dengan mengamalkan ajaran ini -na’udzu billah min dzalik- seseorang bukannya makin dekat kepada Allah azza wa jalla, tapi malah semakin jauh dari-Nya, dan hatinya bukannya makin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda. Kemudian jika timbul pertanyaan, “Kalau begitu usaha apa yang harus kita lakukan dalam upaya untuk menyucikan jiwa dan hati kita?”, Maka jawabannya adalah sederhana sekali, yaitu, Pelajari dan amalkan syariat islam ini lahir dan batin, maka dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih untuk lebih jelasnya silakan pembaca menelaah kitab Manhajul Anbiya’ fii Tazkiyatin Nufus tulisan Syaikh Salim Al Hilali, yang ditulis khusus untuk menjelaskan masalah penting ini, karena di antara tugas utama yang dibawa para Rasul shallallahu alaihi wa sallam adalah menyucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah azza wa jalla, sebagaimana firman Allah لَقَدْ مَنَّ اللّهُ عَلَى الْمُؤمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولاً مِّنْأَنفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُالْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِن كَانُواْ مِن قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُّبِينٍ “Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan jiwa mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan Al Hikmah As Sunnah. Dan sesungguhnya sebelum kedatangan Nabi itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. QS. Ali Imran 164. Maka orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al Quran dan As Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah orang yang paling bersih dan suci hati dan jiwanya dan dialah orang yang paling bertakwa kepada Allah azza wa jalla, karena semua orang berilmu sepakat mengatakan bahwa “Penghalang utama yang menghalangi seorang manusia untuk dekat kepada Allah azza wa jalla adalah kekotoran jiwanya” Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Igatsatul Lahafan dan Al Fawa’id. Oleh karena inilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mempermisalkan petunjuk dan ilmu yang Allah turunkan kepada beliau shallallahu alaihi wa sallam dengan air hujan yang Allah turunkan dari langit, karena sebagaimana fungsi air hujan adalah untuk menghidupkan, membersihkan dan menumbuhkan kembali tanah yang tandus dan gersang, maka demikian pula petunjuk dan ilmu yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah untuk menghidupkan, menyucikan dan menumbuhkan hati manusia, dalam hadits Abi Musa Al Asy’ari radhiyallahu anhu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda إِنَّ مَثَلَ مَا بَعَثَنِيَ اللهُ بِهِ مِنَ الْهُدَى وَالْعِلْمِ كَمَثَلِ غَيْثٍ أَصَابَ أَرْضاً… الحديث “Sesungguhnya permisalan dari petunjuk dan ilmu yang aku bawa dari Allah adalah seperti hujan yang baik yang Allah turunkan ke bumi…” HR. Bukhari 1/175, Fathul Bari dan Muslim no. 2282. Semoga tulisan ini Allah azza wa jalla jadikan bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi semua orang yang membacanya. وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا الحمد لله رب العالمين. *** Penulis Ustadz Abdullah Taslim, Lengkapi pengetahuan antum dengan menyimak kajian tentang Studi Banding Tasawuf - Ahlussunnah oleh Ustadz Zainuddin Abdullah di link berikut
dagingdan darahnya itu kepada Tuhan, hanya yang sampai kepada Tuhan ialah taqwa (kepatuhan menjalankan kewajiban) dari kamu”(QS. Al-Hajj :37). Rukuk dan sujud dimaksudkan untuk mengagungkan Allah. Ketika tidak ada rasa dan secara menyeluruh tentang hakikat shalat dalam pandangan sufi, selain itu penelitian ini
Orang yang bertaqwa ialah orang yang kesholehan pribadinya mampu untuk melahirkan kesholehan sosial. Inilah sikap yang menyebabkan sebuah peradaban pada zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam terbangun saat usianya masih sangat hanya dalam kurun waktu kurang lebih 23 tahun keadilan mampu ditegakkan, kemaksiatan terkarantina, kesenjangan sosial dapat tersingkirkan, kekufuran terkubur dan keharmonisan terbangun. Sehingga setan pun putus asa untuk kembali eksis di baitullah, setan berputus asa untuk mengajak manusia menyembah berhala di hadapan ka’ pada saat zaman Umar bin Abdul Azis, hanya dalam kurun waktu 2,6 tahun mampu meraplikasi ketaqwaan sahabat-sahabat senior pada masa kekuasaannya. Sehingga, beliau diberi gelar sebagai khalifah ke-5. Begitulah esensi taqwa yang meresap ke dalam jiwa.“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” QS. al-Baqarah 183Ayat ini merupakan ayat yang menjadi dalil tentang kewajiban bagi orang yang beriman untuk melaksanakan puasa yaitu puasa yang dapat melahirkan karakter taqwa, output nya ialah sebuah sikap taqwa dalam pribadi-pribadi kaum muslimin yang teraplikasikan dalam kehidupan nyata, bukan angan-angan, bukan sekedar teori, bukan sekedar hiasan grand design yang Allah Subhanahu wa Ta’ala syariatkan untuk kita berpuasa di dalamnya, inilah hasil akhir yang Allah Subhanahu wa Ta’ala jadikan ibadah puasa sebagai perangkatnya, yaitu bagi kita yang benar dalam menjalankan kita menjadi manusia yang bertaqwa, manusia yang terbimbing dengan sentuhan ilahiyah, manusia yang terbimbing dengan sentuhan tarbiyah Rabbaniyah, sehingga terpancar dari kita sikap taat terhadap perintah-Nya, sehingga terpancar dari kita akhlak mulia dari pergaulan keseharian, terpancar dari kita kesibukan yang dapat membersihkan hati dan menata diri dari hal-hal yang tidak di ridhoi oleh Allah Ta’ Al-Qur’an kita sama dengan yang ada pada mereka? Bukankah hadits-hadits yang menjadi sandaran kita sama dengan hadits yang mereka terima? Jika kita tak mengingkari bahwa kedua sumber pedoman itu sama dengan apa yang mereka jadikan apa yang menjadi masalah hingga output nya berbeda begitu jauh sekali. Esensi dari makna taqwa inilah yang perlu kita benahi jika kita menginginkan output yang sama dengan apa yang diraih oleh generasi terbaik ummat ini, generasi sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa yang bertaqwa bukanlah mereka yang sibuk dengan tampilan luar namun lupa bagian dalamnya, mereka yang sibuk memperbaiki bagian luar namun lupa memperbaiki bagian yang hanya sibuk memperbaiki ibadah-ibadah mahdahnya namun melupakan hubungannya kepada sesama manusia, mereka benci pada persatuan dan gemar memecah belah ummat, orang-orang yang suka mencela dan menghina orang lain, serta orang-orang yang merasa lebih dan lebih berilmu dari orang artinya kita berpuasa namun tidak melahirkan sikap taqwa dalam jiwa, kita Qiyamul Lail jika hanya melahirkan sikap sombong, kita tilawah Al-Qur’an namun lisan ini tidak terjaga, kita bersedekah jika disertai dengan merendahkan orang lain, kita berzakat namun selimut kedengkian tidak mampu kita singkirkan, kita mengkaji Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam jika hanya melahirkan kesibukan pada kesalahan orang lain, dan kita menghabiskan waktu pada majelis ilmu jika hanya melahirkan sikap mendikte amal-amal yang dikerjakan orang kebaikan dari amal-amal sholeh itu tidak akan mampu menyelamatkan kita dari siksa api neraka jika kita tidak menghiraukan hati yang berkarat ini, jika hati kita tidak selamat di bulan yang mulia, jika hati kita terbalut dengan kedengkian-kedengkian terhadap orang lain, jika hati kita dipenuhi kebencian terhadap sesama muslim, jika hati kita terbungkus dengan kesombongan, dan jika hati-hati kita tunduk pada perintah Tuhan yang bernama hawa celakalah orang-orang yang tidak mendapatkan ampunan Allah Subhanahu wa Ta’ala dibulan yang agung ini. Bukankah Allah SWT berfirman“Yaitu hari di mana tidak berguna lagi harta dan anak-anak mereka kecuali mereka yang datang menemui Allah dengan hati yang selamat selamat dari kesyirikan dan kotoran-kotorannya.” QS. Asy Syu’ara 88-89Inilah makna taqwa yang harus kita benahi, inilah karakter orang yang bertaqwa, yaitu orang yang berusaha keras melatih diri untuk membersihkan dan menyucikan jiwanya dari kesyirikan dan kotoran-kotoran yang berada pada dinding-dinding hatinya. Inilah esensi ketaqwaan yang Allah Ta’ala mengajarkannya kepada kita, begitulah Allah menjelaskannya kepada kita dan begitulah hakikat dari taqwa yang Allah maksudkan pada kita, yaitu hati yang bersih dari berbagai macam kesyirikan dan kotoran-kotoran yang melekat pada dinding hati.
Dalamkaitannya dengan sufi, maka sebutan baq biasanya digunakan dengan proposisi baqa’bi, yang berarti diisi dengan sesuatu, hidup atau bersama dengan sesuatu. Dalam kamus Al-Kautsar, baqa’ berarti tetap, tinggal, kekal. Bisa juga berarti memaafkan segala kesalahan sehingga yang tersisa hanyalah kecintaan kepada-Nya.
PENGERTIAN DAN LANDASAN TASAWWUF Akar kata “tasawwuf” memiliki ragam makna. Sebagain pendapat mengatakan bahwa “tasawwuf” diambil dari akar kata bahasa arab shofaa -yashfuu yang artinya “suci murni”. Dalam pengertian ini, imam Bisyr bin al-Harits, salah seorang sufi terkemuka sebagaimana dikutip syekh Muhammad Mayyarah dalam kitab Syarh al-Mursyid al-Mu’in, berkata لصُّوْفِيّ مَنْ صَفَا قَلْبُهُ للهِ تَعَالَى Orang sufi ialah orang yang hatinya murni bagi Allah. Penulis Artikel “PENGERTIAN & LANDASAN TASAWWUF” OLEH Fikri Badjeber. Dok Foto Facebook Dapat pula “tasawwuf” diambil dari kata shuuf. Artinya “kain wol”. Dalam makna ini imam Abu Ali al-Raudzabari, yang juga seorang sufi besar, berkata مَنْ لَبِسَ الصُّوْفَ عَلَى الصّفَا وَكَانَتِ الدُّنْيَا مِنْهُ عَلَى القَفَا وَسَلَكَ مِنْهَاجَ المُصْطَفَى seorang sufi adalah orang yang dalam kesuciannya memakai kain wol, menjauhi kenikmatan dunia, dan berpegang teguh pada jalan rasulullah. Secara definitif sebagai sebuah disiplin ilmu, “tasawwuf” diartikan beragam. Di antaranya perkataan imam al-Junaid al-Baghdadi, seorang pemuka kaum sufiالخُرُوْجُ عَنْ كُلِّ خُلُقٍ دَنِيّ، وَالدُّخُوْلُ فِي خُلُقٌ سَنِيّ Keluar dari setiap akhlak tercela dan masuk kepada setiap akhlak terpuji Syekh Zakariyya al-Anshari, berkata التَّصَوُّفُ هُوَ عِلْمٌ تُعْرَفُ بهِ أحْوَالُ تَزْكِيَةِ النّفْس، وَتَصْفِيَةِ الأخلاق، وَتَعْمِيْرِ الظّاهِرِ وَالبَاطِنِ لِنَيْلِ السّعَادَة ِالأبَدِيَّة Tasawwuf adalah sebuah ilmu yang dengannya diketahui keadaan-keadaan dalam mensucikan jiwa, membersihkan akhlak, menghiasi zhahir dan batin untuk mencapai kebaagian dunia dan akhirat Imam Abu Bakar al-Syibly, ketika ditanya oleh Abu al-Hasan al-Farghani tentang siapakah seorang yang sufi, menjawab مَنْ صَفَا قَلْبُهُ فَصَفَى، وَسَلَكَ طَرِيْقَ المُصْطَفَى، وَرَمَى الدُّنْيَا خَلْفَ القَفَا، وَأذَاقَ الهَوَى طَعْمَ الجَفَا Sufi adalah seorang yang hatinya bersih, maka ia menjadi suci. Seorang yang menapaki jalan Rasulullah, membuang dunia di belakang punggungnya dan menjadikan hawa nafsu merasakan kepahitan Ketika ditanya kembali definisi lain dari seorang sufi, al-Syibli berkata مَنْ جَفَا عَنِ الكَدَرِ، وَخلصَ مِنَ العَكر، وَامْتَلأ بالفِكْر، وَتَسَاوَى عِنْدَهُ الذهَبُ وَالمَدَرُ Adalah orang yang menjauhi kekeruhan, membersihkan diri dari aib, memenuhi dirinya dengan berfikir dan tidak berbeda baginya antara emas dan debu Dan ketika ditanya definisi tasawwuf, imam Syibly berkata تَصْفِيَةُ القلُوْبِ لِعَلاَّمِ الغُيُوبِ Membersihkan hati hanya bagi Allah; Yang mengetahui segala yang ghaib Ketika ditanya kembali definisi lain dari tasawwuf, imam Syibly berkata تَعْظِيْمُ أمْرِ اللهِ وَالشّفَقَةُ إِلَى عِبَادِ اللهِ Mengagungkan segala perintah Allah dan mencintai para hanba Allah Definisi lain mengatakan الجِدُّ فِي السُّلُوكِ إلَى مَلِكِ المُلُوْكِ Usaha keras dalam suluk menuju Allah. Tasawwuf sebagai sebuah nama belum dikenal pada masa awal perkembangan Islam. Namun sebagai sebuah ajaran sudah ada. Bahkan apa yang dicontohkan Rasulullah dalam kesehariannya dihadapan para sahabat adalah unsur-unsur tasawwuf yang merupakan landasannya. Firman Allah dalam al-Qur’an وَأمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الهَوَى، فَإِنَّ الجَنَّةَ هِيَ المَأوَى النازعات 40-41 Adapun Orang yang takut akan keagungan Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya maka sesungguhnya surgalah tempat tinggalnya Dalam sebuah hadits, Rasulullah bersabda أحَبُّ العِبَادِ إلَى اللهِ تَعَالى الأتقِيَاءُ الأخْفِيَاء، الذيْنَ إذَا غَابُوا لَمْ يُفْتَقَدُوْا، وَإذَا شَهِدُوْا لَمْ يُعْرَفُوا، أولئِكَ هُمْ أئِمَّة الهُدَى وَمَصَابِيْحُ العِلمِ رواه أبو نعيم Hamba-hamba yang dicintai oleh Allah adalah mereka yang bertaqwa dan yang tersembunyi. Bila tidak hadir, mereka tidak dicari. Dan bila hadir mereka tidak dikenali. Mereka adalah para imam yang membawa petunjuk dan lentera-lentera ilmu. Sahabat Umar bin al-Khattab berkata اخْشَوْشِنُوْا وَتَمَعْدَدُوْا {ikhsyausyinuu wa tama’daduu} Maksud perkataannya ikhsyausyinuu adalah “Biasakanlah oleh kalian untuk menjauhi kenikmatan”. Pengertian tama’daduu “Biasakanlah oleh kalian untuk mencontoh Ma’ad ibn Adnan”. Ma’ad ibn Adnan adalah salah seorang kakek Rasulullah yang beragama Islam, sangat disegani di kaumnya, namun demikian beliau selalu menghindari kenikmatan-kenikmatan duniawi. Pernyataan Umar ini memberikan keterangan jelas kepada kita bahwa ajaran-ajaran tasawwuf di kalangan sahabat nabi sudah ada. LANDASAN TASAWWUF; ILMU DAN AMAL Dari penjelasan di atas dapat kita pahami bahwa tasawwuf adalah usaha untuk mencapai keridlaan Allah dengan meraih derajat tinggi kwalitas taqwa. Titik final ini tidak akan bisa dicapai kecuali dengan mengikuti segala yang telah digariskan syari’at. Dengan demikian tasawwuf sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, bahkan sebaliknya tasawwuf adalah ajaran Islam itu sendiri. Karena itulah, ajaran yang diemban para imam sufi adalah berpegang teguh dengan apa yang telah digariskan dalam al-Qur’an dan Sunnah. Imam Abu Nu’aim, salah seorang ulama terkemuka di sekitar abad 4 hijriah, menulis sebuah kitab berjudul Hilyah al-Auliya Fi Thabaqat al-Ashfiya’. Sebuah kitab yang berisi penyebutan biografi kaum sufi dari masa ke masa hingga masanya sendiri. Beliau menulis karya tersebut untuk membedakan antara sufi sejati yang benar-benar sufi dengan kaum sufi gadungan palsu. Dalam penyebutan biografi kaum sufi tersebut, Abu Nu’aim memulai dengan kaum sufi kalangan sahabat nabi 100 tahun pertama hijriah. Di mulai dengan Abu Bakar al-Siddiq, Umar bin al-Khattab, Ali bin Abi Thalib dan seterusnya. Kemudian dari kalangan tabi’in 100 tahun kedua hijriah seperti al-Hasan al-Bashri, Sufyan al-Tsauri dan seterusnya. Selanjutnya dari kalangan atba’ at-Tabi’in 100 tahun ketiga hijriah. Hal ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa kaum sufi sejati adalah mereka yang berpegang teguh dengan ajaran nabi. Dalam Islam kaum sufi bukan sebagai komunitas tersendiri. Tapi sebaliknya kaum sufi terdiri dari berbagai kalangan ulama. Ada yang berasal dari kalangan ahli hadits, ahli tafsir dan lainnya. Dalam aqidah mereka berpegang teguh dengan aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah. Dalam fiqh, secara umum, mereka berpegang teguh kepada salah satu dari empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Karena itu, landasan yang paling pertama ditanamkan oleh kaum sufi adalah ilmu. Yaitu mempelajari ajaran-ajaran syari’at Islam. Kemudian dilanjutkan dengan amal, artinya mengerjakan ketentuan-ketentuan syari’at tersebut. Dari sini derajat takwa sebagai tujuan suluk perjalanan akan diraih. Seseorang tidak akan pernah mencapai apa yang telah dicapai kaum sufi sejati bila tidak mengetahui syari’at, karena ia tidak akan pernah mencapai derajat takwa. Dan karenanya Allah tidak menjadikan para wali-Nya mereka yang bodoh dengan syari’at-Nya. Dalam pada ini imam Syafi’i berkata مَا اتَّخَذَ اللهُ وَلِيًّا جَاهِلاً Allah tidak mengangkat seorang wali yang bodoh THARIQAT Di antara tanda-tanda kaum yang mengaku sufi padahal sufi tidak seperti mereka adalah mereka yang memisahkan atau membeda-bedakan antara syari’at dan thariqat, atau membedakan antara syari’at dengan hakekat. Tidak sedikit dari kalangan mereka yang tidak shalat, puasa, atau amal ibadah lainnya dengan alasan bahwa itu semua hanya pekerjaan syari’at atau zhahir saja, bukan hakikat atau batin; yang merupakan intinya. Kaum sufi sejati tidak membedakan antara syari’at dengan hakekat. Hakekat tidak akan pernah dapat diraih kecuali dengan jalan syari’at. Dan karenanya syari’at disebut sebagai thariq thariqah, karena ia merupakan jalan menuju hakekat tersebut. Imam al-Junaid al-Baghdadi, pemimpin kaum sufi, berkata طَرِيْقُنَا هذَا مَضْبُوطٌ بِالكِتَابِ وَالسُّنَّةِ إذِ الطّرِيْقُ إلَىاللهِ مَسْدُوْدَةٌ إلاّ عَلَى المُقْتَفِيْنَ ءَاثَارَ رَسُوْلِ اللهِ Jalan kita ini tasawwuf diikat al-Qur’an dan sunnah rasul, karena sesungguhnya setiap jalan menuju Allah itu tertutup kecuali bagi mereka yang berpegang teguh dengan apa yang digariskan Rasulullah Dalam kesempatan lain beliau berkata مَنْ لَمْ يَحْفَظِ القُرْءَانَ وَلَمْ يَكْتُبِ الحَدِيْثَ لاَ يُقْتَدَى بِهِ فِي هذا الأمْرِ، لأنَّ عِلْمَنَا هذا مُقَيَّدٌ بأصُوْلِ السُّنَّةِ Orang yang tidak hafal al-Qur’an dan tidak mau menulis hadis, maka ia tidak diikuti dalam urusan ini tasawwuf, karena ilmu kita ini terikat dengan pokok-pokok sunnah Seorang sufi besar lainnya, imam Sahl al-Tustary berkata أصُوْلُ مَذهَبِنَا ثَلاَثَةٌ, الاقتِدَاءُ بِالنَّبِيِّ فِي الأخْلاَقِ وَالأفْعَالِ وَالأكْلِ مِنَ الحَلاَلِ وَإخْلاَصِ النِّيَّةِ فِي جَمِيْعِ الأفْعَالِ Maknanya “Landasan kita ini tasawwuf tiga perkara mencontoh akhlak dan perbuatan rasulullah, makan dari makanan halal dan ikhlas dalam setiap perbuatan”. Pengertian thariqat di atas adalah pengertian secara umum. Artinya seluruh apa yang merupakan ajaran dalam syari’at Islam adalah merupakan jalan untuk mencapai hakekat. Hanya saja belakangan, penyebutan thariqat seakan lebih mengacu kepada apa yang telah dirintis oleh para ulama sufi atau para wali Allah dari bacaan-bacaan atau dzikir-dzikir tertentu untuk mendorong dalam meningkatkan kwalitas takwa. Seperti thariqat al-Qadiriyah, ar-Rifa’iyyah, an-Naqsyabandiyah, as-Syadziliyah ali ba alawi dan lainnya. Pada dasarnya apa yang telah dirintis oleh para ulama tersebut adalah sesuatu yang sangat baik. Seorang murid dihadapan mursyid-nya berjanji untuk memegang teguh syari’at hingga mendapatkan citra takwa, inilah sebenarnya tujuan thariqat. Bacaan-bacaan dzikir tersebut hanya sebagai salah satu sarana untuk meraih citra takwa tersebut. Dalam pada ini para ulama berkata أخْذُ العَهْدِ عَلَى أيِدِيْ المَشَايِخِ مُسْتَحَبٌّ Mengambil janji dalam menjankan syari’at diatas tangan para syekh Mursyid itu disunnahkan. Maksudnya bahwa menjalankan thariqat yang isinya syari’at Islam itu sendiri, dengan ditambah berjanji kepada para syekh untuk selalu berusaha menjalankan syari’at, juga berusaha untuk menjauhi hal-hal yang mubah dengan tidak mengharamkannya, adalah hal yang sangat baik. Inilah pengertian thariqat secara garis besar. Pemimpin para wali Allah Suthanul Auliya, imam Ahmad ar-Rifa’i, perintis thariqat Rifa’iyyah berkata وَاعْلَمْ أنَّ كُلَّ طَرِيْقَةٍ تُخَالِفُ الشَّرِيْعَةَ فَهِيَ زَنْدَقَةٌ Ketahuilah sesunggguhnya setiap thariqah menuju jalan Allah yang menyalahi syari’at adalah zindiq Kemudian esensi thariqat tidak lebih dari berzikir, tahlil, takbir, tahmid, istigfar dan shalawat atas rasulullah. Maka jelas tidak ada suatu apapun yang menyalahi syari’at, bahkan sebaliknya syari’at menganjurkan kepada setiap muslim untuk selalu berzikir, istigfar, juga shalawat. DUA AQIDAHYANG SALAH ; HULUL DAN WAHDATUL WUJUD Yang perlu digaris bawahi bahwa para wali Allah perintis thariqat di atas adalah orang-orang yang berpegang teguh dengan aqidah Ahlussunnah, aqidah yang diajarkan rasulullah dan para sahabatnya. Diantara apa yang diajarkan rasul dalam hal aqidah ialah bahwa Allah ada tanpa tempat, Dia tidak menyerupai apapun dari makhlukNya. Allah berfirman لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيءٌ الشورى11 Dia Allah tidak menyerupaiNya suatu apapun. QS As-Syura11 Dari ayat ini para ulama mengambil kesimpulan إنَّ اللهَ لاَيَحُلُّ فِي شَيءٍ وَلاَ يَنْحَلُّ مِنْهُ شَيءٌ وَلاَ يَحُلُّ فِيْهِ شيءٌ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيءٌ Sesungguhnya Allah tidak menempat pada suatu apapun, dan tidak terpisah suatu apapun dari dzatnya, dan tidak suatu apapun menempat pada dzatNya, juga tidak menyerupaiNya suatu apapun. Maka apa yang diyakini segelintir orang tentang aqidah Hulul aqidah sesat yang menyatakan, bahwa Allah menyatu dengan para wali-Nya atau aqidah Wahdatul Wujud aqidah yang juga sesat; menyatakan bahwa Allah menyatu dengan alam semesta adalah suatu kesesatan belaka dan bukan ajaran Islam. Bahkan dua aqidah sesat inilah yang selalu diperangi oleh para imam thariqat itu sendiri. Imam Junaid al-Baghdadi berkata لَوْ كُنْتُ حَاكِمًا لَقَطَعْتُ رَأسَ كُلِّ مَنْ يَقُوْلُ لاَ مَوْجُوْدَ إلاّ اللهُ Andaikan aku seorang penguasa maka pastilah aku akan memenggal kepala tiap orang yang meyakini aqidah wahdatul wujud. Bahkan imam Muhyiddin ibnu Arabi, seorang sufi besar kenamaan, yang oleh sebagian orang orang pemeluk aqidah hulul, sangat giat memerangi dua aqidah sesat tersebut. Diantara ucapan beliau yang sangat masyhur ialah مَنْ قَالَ بِالحُلُوْلِ فدِيْنُهُ مَعْلُوْلٌ وَمَا قَالَ بِالاتّحَادِ إلاَّ أهْلُ الالْحَادِ Orang yang meyakini aqidah hulul maka agamanya cacat tidak sah, dan tidaklah seseorang berkata meyakini aqidah wahdatul wujud kecuali dia dari golongan bukan islam. *** Artikel ini telah tayang di Media Alkhairaat Online dengan judul “Tasawwuf dan Thariqat” pada 9 Juni 2021

DefinisiTasawuf Definisi Tasawuf by : miftahudin's. Pandangan paling monumental tentang Tasawuf muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang ulama sufi abad ke-4 hijriyah.Al-Qusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa Tasawuf atau Sufi muncul dari akar-akar historis,

Sufism is self-cleansing and the human soul for the means to draw closer to God Almighty. The development of Sufism today can not be separated from the tendency of spiritualism. we cannot ignore that there are two very important technical terms namely maqamat and ahwal in Sufism. To reach the position of maqamat and ahwal the stages must be passed by a Sufi. Achievement at the highest station can be realized in the form of behavior changes or commendable morals. That character will deliver a Sufi to the level of mahabbah and ma'rifah. The research method used in this research is the study of literature Library Research. For the results of this study that Sufism is a pattern of Sufism Sufism whose teachings go back to the Qur'an and Sunnah. Maqam and hal are a way to achieve the ideal of the Sufis. Through the process of purification of the soul against the tendency of matter to return to the light of God. When God manifests himself in the soul and clean heart of man in both His majesty and beauty, a person will love the manifestation and feel certain joys, heart feels close qurb, love mahabbah, raja’ , serenity and sense mental conditions are called ahwal. Keywords Sufism, Maqamat and Ahwal, Mahabbah and Ma’rifah Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 214 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 Fitriyatul Hanifiyah KONSEP TASAWUF SUNNI Mengurai Tasawuf Akhlaqi, Al-Maqamat dan Ahwal, Al-Ma’rifah dan Mahabbah Perspektif Tokoh Sufi Sunni Universitas Islam Jember, Jember Email Abstract Sufism is self-cleansing and the human soul for the means to draw closer to God Almighty. The development of Sufism today can not be separated from the tendency of spiritualism. we cannot ignore that there are two very important technical terms namely maqamat and ahwal in Sufism. To reach the position of maqamat and ahwal the stages must be passed by a Sufi. Achievement at the highest station can be realized in the form of behavior changes or commendable morals. That character will deliver a Sufi to the level of mahabbah and ma'rifah. The research method used in this research is the study of literature Library Research. For the results of this study that Sufism is a pattern of Sufism Sufism whose teachings go back to the Qur'an and Sunnah. Maqam and hal are a way to achieve the ideal of the Sufis. Through the process of purification of the soul against the tendency of matter to return to the light of God. When God manifests himself in the soul and clean heart of man in both His majesty and beauty, a person will love the manifestation and feel certain joys, heart feels close qurb, love mahabbah, raja’ , serenity and sense mental conditions are called ahwal. Keywords Sufism, Maqamat and Ahwal, Mahabbah and Ma’rifah Received in revised form 2019-12-17 Citation Hanifiyah, F. 2019, Konsep Tasawuf Sunni Mengurai Tasawuf Akhlaqi, Al-Maqamat dan Ahwal, Al-Ma’rifah dan Mahabbah Perspektif Tokoh Sufi Sunni, 62, 214-231. Konsep Tasawuf Sunni 215 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 Abstrak Tasawuf merupakan salah satu bentuk pembersihan diri dan jiwa manusia untuk sarana mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa. Perkembangan pemikiran tasawuf dewasa ini tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan pembicaraan tentang ajaran tasawuf sebagai perjalanan spiritual, kita tidak dapat megabaikan bahwa terdapat dua istilah teknis yang sangat penting yaitu maqamat dan ahwal. Untuk mencapai posisi maqamat dan ahwal tersebut tahapan-tahapan harus dilalui oleh seorang sufi. Pencapaian pada maqam tertinggi bisa diwujudkan dalam bentuk perubahan perilaku atau akhlak yang terpuji. Akhlak tersebut yang akan mengantarkan seorang sufi kepada jenjang mahabbah dan ma’rifah. . Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan kajian literature Library Research. Untuk hasil penelitian ini bahwa tasawuf akhlaqi merupakan pola tasawuf yang ajaran-ajarannya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali pada cahaya Tuhan. Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan-Nya, seseorang akan mencintai manifestasinya tersebut dan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat qurb, rasa cinta mahabbah, raja’, tentram dan rasa yakin. Kondisi-kondisi kejiwaan tersebut yang dinamakan ahwal. Kata Kunci Tasawuf, Maqamat dan Ahwal, Mahabbah dan Ma’rifah PENDAHULUAN Tasawuf merupakan salah satu bidang studi Islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia yang dapat menimbulkan akhlak mulia. Pembersihan aspek rohani ini dikenal sebagai dimensi esoteric dari diri manusia. Hal ini berbeda dengan aspek fikih, khususnya pada thaharah yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmaniah atau lahiriah yang disebut dengan dimensi eksoterik. Berkembangnya pemikiran tasawuf akhir-akhir ini tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan spiritualisme yang merupakan salah satu dari sekian banyak trend besar di era global. Inti ketertarikan manusia modern terhadap dunia spiritual, pada dasarnya digunakan untuk mencari keseimbangan baru dalam hidupnya. Paradigma modern tidak mampu mengungkap kesemestaan kehidupan karena sejak awal telah menolak atau mendekonstruksi realitas yang berada di luar jangkauan indera dan rasio. 216 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 Berkenaan dengan itu, agama tampak dijadikan sebagai alternatif paradigma, paling tidak dalam diskursus post modernisme belakangan ini. Agama dipandang sebagai bagian yang sangat penting dan fungsional bagi sejarah perjalanan hidup manusia di masa depan. Akan tetapi, di balik optimisme tentang masa depan agama, terdapat pertanyaan tentang model keberagamaan yang bagaimana yang dapat menyangga kebutuhan spiritualitas tersebut. Dalam konteks pertanyaan seperti ini, tasawuf diharapkan menjadi salah satu alternative untuk mengisi kehampaan spiritual manusia. Dalam pembicaraan tentang ajaran tasawuf sebagai perjalanan spiritual, kita tidak dapat megabaikan bahwa terdapat dua istilah teknis yang sangat penting yaitumaqamat dan ahwal. Untuk mencapai puncak maqamat yang tertinggi, seorang sufi harus menjalani setahap demi setahap. Seorang sufi yang telah mencapai puncak maqam tertinggi tampak termanifestasikan dalam perubahan sikap atau perilaku kepada akhlak yang lebih baik. Akhlak terpuji sebagai bentuk representative dari seorang sufi yang telah mampu menuju jenjang mahabbah atau ma’rifah. Hal ini yang menjadi karakteristik-karakteristik seorang sufi. Untuk mengetahui lebih komprehensif tentang maqamat, ahwal, mahabbah dan makrifah, maka penulis melakukan penelitian kajian literature Library Research mengenai ajaran tasawuf sunni. PEMBAHASAN TOKOH SUFI SUNNI DAN AJARANNYA TASAWUF AKHLAQI Dalam kajian tasawuf abad ke-3 dan 4 Hijriah terdapat kecenderungan para tokoh sufi. Pertama, yang cenderung bersifat gerakan akhlak yang didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang kemudian Konsep Tasawuf Sunni 217 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 ajaran ini disebut sebagai Tasawuf Sunni. Kedua, cenderung bersifat tasawuf filsafat dan banyak berbaur dengan kajian filsafat metafisika. Tasawuf Akhlaqi adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang diformulasikan pada pengetahuan sikap, mental dan pendisiplinan tingkah laku, guna mencapai kebahagiaan yang optimal. Manusia harus lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ketuhanan melalui penyucian jiwa raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang berakhlak mulia yang dalam ilmu tasawuf dengan takhalli pengosongan diri dari sifat-sifat tercela, tahalli menghiasi diri dari sifat-sifat terpuji, dan tajalli terungkapnya nur bagi yang telah bersih sehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan. Dapat dikatakan bahwa tasawuf akhlaqi ini merupakan pola tasawuf yang ajaran-ajarannya kembali kepada Al-Qur’an dan samping itu, aliran sufi sunni ini cenderung menyorot tasawuf dari sudut moral dan amal syariat yang didiasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Termasuk tokoh-tokoh kelompok pertama di antaranya adalah Haris al-Muhasibi. Ia banyak mengkaji dan mengajarkan disiplin diri muhasabah. Al-Muhasibi juga menulis Kitab Al-Wasaya yang menyajikan ulasan tentang zuhud. Sedangkan bukunya At-Tawahhum membahas kedahsyatan maut dan hari pembalasan. Adapun pandangannya tentang kemurnian cinta ketuhanan ditulisnya dalam Fasl fi Al-Mahabbah Penjelasan tentang Konsep Cinta. Selain tokoh tersebut, juga dikenal Sirri As-Saqati, Abu Ali Ar-Ruzbari, dan Abu Zaid Al-Adami. Di samping itu, terdapat pula Abu Said Al-Kharraz, Sahl At-Tustari dan Al-Junaid Al-Bagdadi w. 289 H yang paling populer dan mempunyai analisis mendalam mengenai tauhid dan fana dari kalangan tokoh sufi 218 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 sunni. Menurut pemikirannya, memperdalam pengenalan kepada Allah SWT harus bersamaan dengan peningkatan amal dan disiplin diri. Sedangkan untuk tokoh tasawuf filasafat antara lain adalah Zunun Al-Misri. Ia tokoh sufi yang ahli ilmu kimia dan sering disebut sebagai tokoh legendaries. Menurutnya, pengetahuan tentang Tuhan mempunyai tiga tingkatan, yaitu 1 pengetahuan awam, yang diperoleh dengan perantaraan ucapan syahadat, 2 pengetahuan ulama, yang diperoleh dengan menggunakan akal dan logika dan 3 pengetahuan sufi, yang diperoleh dengan hati sanubari. Tingkat terakhir ini juga disebut sebagai ma’rifat, yakni kemampuan hati untuk melihat Tuhan. Tokoh lain yang juga paling berani dari kelompok tasawuf filsafat ini adalah Abu Yazid Al-Bustami w. 260 H, yang secara terus terang mengungkapkan dalam as-sakr mabuk ketuhanan, fana dan baka peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Ilahi dan ittihad bersatu dengan Tuhan. Di samping juga, Husain bin Mansur Al-Hallaj yang dianggap paling kontroversial di dalam sejarah tasawuf. Pandangan tasawuf yang dikembangkan Al-hallaj adalah hulul. Setelah Al-hallaj meninggal, tasawuf filsafat makin terdesak oleh tasawuf sunni. Terutama hal itu didukung oleh keunggulan aliran Asy’ariyah dalam teologi yang memiliki kesamaan dengan tasawuf sunni. Di antara tokoh tasawuf yang muncul pada abad ke-5 H adalah Abu Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi yang mengangkat kerangka teoritis tasawuf, walaupun kajiannya bersifat umum dan ringkas. Tokoh lain yang muncul kemudian ialah Abu Ismail Abdullah bin Muhaimad Al-Ansari Al-Harawi yang menulis Manazil As-Sa’inn Ila Rabb Al-Alamin Kedudukan Orang-orang yang Mendekatkan Diri pada Allah SWT. dalam karyanya yang ringkas, ia menguraikan maqamat para sufi yang Abu Su’ud, Islamologi Jakarta PT Rineka Cipta, 2003. Hal. 190. Konsep Tasawuf Sunni 219 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 mempunyai awal dan akhir. Maqam terakhir tidak akan bisa berdiri utuh kecuali di atas landasan awalnya, yaitu ikhlas dan dilaksanakan atas sunnah. Sebagai penganut Hambali, Al-Harawi terkenal sebagai penentang tasawuf filsafat yang dibawa oleh Al-Bustami dan Al-Hallaj. Puncak kecemerlangan tasawuf pada abad ke-5 adalah pada masa Al-Ghazali yang diberi gelar Hujatul Islam. Dengan hasil karyanya yang popular yaitu Ihya’ Ulum Ad-Din, dia mencoba untuk mendamaikan teologi, fikih dan tasawuf. Ia juga membahas secara mendalam perihal ibadah, adat istiadat masyarakat, dosa-dosa yang membinasakan dan jalan menuju keselamatan berupa maqamat dan ahwal. Tidak dipertentangkan lagi bahwa buku Ihya’ Ulum Ad-Din adalah menjadi sumber tasawuf sunni. Adapun ma’rifah adalah tujuan luhur bagi tasawuf. Sedangkan kesatuan antara manusia dengan Tuhan merupakan suatu putusan yang secara logis tertolak di samping tidak bisa diterima secara MENUJU SUFI MAQAMAT DAN KARAKTERISTIK SUFI AL-AHWAL Maqamat dan Ahwal adalah dua istilah penting dalam dunia tasawuf. Keduanya merupakan sarana dan pengalaman spiritual seseorang dalam berkomunikasi dengan Tuhan, Dzat tempat berasal dan kembali segala sesuatu yang ada di jagad raya jamak dari maqam, yang berarti tahap-tahap perjalanan atau secara lebih populer diterjemahkan dengan “stasiun”, seperti halnya stasiun kereta apai yang harus dilalui sepanjang perjalanan, dari titik “start” sampai kepada “finish” sebagai akhir tujuan perjalanan. Adapun “ahwal” bentuk jamak dari hal, Ibrahim Madkour, Filsafat Islam Metode dan Penerapan Jakarta CV. Rajawali, 1988. Hal. 74. 220 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 biasanya diartikan sebagai keadaan mental mental states yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya. Dengan begitu, maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali pada cahaya Tuhan. Pada sisi lain, ahwal merupakan keadaan yang diberikan oleh Tuhan di tengah seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqam tertentu. Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan-Nya, seseorang akan mencintai manifestasinya tersebut dan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat qurb, rasa cinta mahabbah, raja’, tentram dan rasa yakin. Kondisi-kondisi kejiwaan tersebut yang dinamakan ahwal. Sekalipun sama-sama dialami dan dicapai selama masa perjalanan spiritual seorang sufi menuju Tuhannya, namun menurut para sufi terdapat perbedaan yang mendasar antara maqamat dan ahwal, baik dari cara mendapatkannya maupun pelangsungannya. Maqamat adalah tahap-tahap perjalanan spiritual yang dengan gigih diusahakan oleh para sufi untuk memperolehnya. Perjuangan ini pada hakikatnya merupakan perjuangan spiritual yang panjang dan melelahkan untuk melawan hawa nafsu, termasuk ego manusia yang dipandang berhala terbesar dan karenanya hal itu yang menjadi kendala menuju Tuhan. Kerasnya perjuangan spiritual ini misalnya dapat dilihat dari kenyataan bahwa seorang sufi terkadang memerlukan waktu puluhan tahun hanya untuk bergeser dari satu stasiun ke stasiun ahwal sering diperoleh secara spontan sebagai hadiah dari Tuhan. Dintara ahwal yang sering disebut adalah takut, syukur, rendah hati, ikhlas dan gembira. Meskipun ada perbedaan di antara penulis tasawuf, namun mayoritas mereka mengatakan bahwa ahwal dialami secara spontan dan Konsep Tasawuf Sunni 221 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 berlangsung sebentar dan diperoleh tidak didasarkan usaha sadar atau perjuangan keras, seperti halnya pada maqamat, melainkan sebagai hadiah berupa kilatan-kilatan Ilahi Divine Flashes.Selain itu, maqam juga mempunyai arti dasar yaitu “tempat berdiri” dalam terminologi sufistik berarti tempat atau martabat seorang hamba di hadapan Allah pada saat ia berdiri menghadap kepada-Nya. Ia merupakan proses training melatih diri dalam hidup kerohanian riyadlah, memerangi hawa nafsu mujahadah dan melepaskan kegiatan dunia untuk semata-mata berbakti kepada Allah. Hal ini senada dengan pendapat Al-Qusyairi yang mengatakan bahwa maqam merupakan apa yang terjadi pada hamba Allah berkat ketinggian adab, sopan santunnya yang dihasilkan dengan kerja keras. Di antara para penulis sufi yang berbicara tentang kondisi serta maqam, terdapat nama-nama yang tidak bisa dilupakan begitu saja, yakni Zu an-Nun Al-Misri w. 861, yang telah menulis daftar berisi delapan belas atau sembilan belas tingkatan. Sementara pada saat itu, Yahya Ibn Mu’az dari Iran 872 mengemukakan tujuh atau empat pengalaman para sufi dalam pengalaman spiritualnya menuju Tuhan, pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah maqamat dan susunannya, bahkan juga cara menyampaikan pengalaman spiritual dalam karya-karya mereka. Pengalaman subjektif terhadap dunia spiritual yang objektif ini yang kiranya telah menyebabkan deskripsi, nama dan urutan-urutan maqamat dari seorang sufi berbeda dari yang lainnya. Ada yang memulainya dengan maqam taubat dan mengakhirinya dengan ma’rifat, Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf Jakarta Erlangga, 2002. Hal. 180. Simuh, Abdul Muhayya, Amin Syukur, dkk, Tasawuf dan Krisis Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001. Hal. 131. Carl W. Ernst, Ajaran dan Amaliah Tasawuf, diterj. dari Judul Asli The Shambhala Guide to Sufism Jogjakarta Pustaka Sufi, 2003. Hal. 129. 222 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 seperti Al-Kalabadzi, ada juga yang memulainya dengan taubat dan mengakhirinya dengan ridha seperti Al-Ghazali. Demikian juga maqamat yang dilalui, ada yang menyebutnya 6 maqamat, 7 atau bahkan 10 maqamat. Demikian juga ada yang mengatakan bahwa ridha, misalnya sebagai “maqam” Al-Kalabadzi, Al-Ghazali dan Qusyairi, ada juga yang menganggap sebagai “ahwal”, seperti yang diyakini misalnya oleh Abu Utsman Al-Hiri. Selain perbedaan tersebut para sufi juga dalam hal pelangsungan dalam “ahwal”. Ada yang mengatakan bahwa beberapa ahwal adalah seperti kilatan. Kalau itu dikatakan menetap, maka menurut seorang guru Al-Qusyari, itu sekedar omongan nafsu. Tetapi di pihak lain, Abu Utsman Al-Hiri justru mengatakan jika hal tidak abadi dan tidak terdelegasikan, maka itu hanyalah kilatan dan pelakunya tidak sampai pada hal yang sebenarnya. Hanya apabila sifat tersebut menetap, maka itulah yang dinamakan hal. Munculnya perbedaan persepsi ini baik mengenai maqamat maupun ahwal adalah akibat pengalaman subjektif masing-masing sufi dalam perjalanan spiritualnya. Di antara beberapa pendapat tentang maqamat adalah sebagai berikut 1. Al-Kalabadzi Terdapat setidaknya 10 maqamat yang dapat ditemukan di dalam kitabnya, yaitu tobat al-taubah, zuhud al-zuhd, sabar al-shabr, kefakiran al-faqr, rendah hati al-tawadhu, tawakkal al-tawakkul, kerelaan al-ridha, cinta al-mahabbah, dan ma’rifat al-ma’rifah. Pertama, tobat al-taubah. Tobat bagi al-Kalabadzi adalah bahwa seseorang telah melupakan dosanya, dalam arti ia telah melupakan segala manisnya dosa sama sekali dalam hatinya. Karena itu, orang Mulyadhi Kartanegara, hal. 182. Konsep Tasawuf Sunni 223 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 yang telah bertobat atau tobatnya diterima, tidak tertarik lagi pada dosa yang pernah ia lakukan. Kedua, zuhud al-zuhd. Dari beberapa definisi zuhud yang dikutip Al-Kalabadzi, dapat disimpulkan bahwa zuhud adalah cara hidup yang bersahaja. Adapun keutamaan seorang zahid adalah bahwa tidak ada yang bisa memilikinya kecuali Tuhan. Ketiga, sabar al-sabr. Salah satu arti sabar yang dikutp Al-Kalabadzi adalah “pengharapan akan kesenangan atau kegembiraan dari Allah dan ini merupakan pengabdian yang paling mulia. Keempat, kefakiran al-faqr. Kefakiran diartikan sebagai seseorang tidak patut mencari yang tiada. Kefakiran yang lebih tinggi ialah bahwa ia merupakan ketiadaan dari setiap benda yang ada dan meninggalakan segala sesuatu yang bisa hilang. Kelima, rendah hati al-tawadhu’. Salah satu pengertian rendah hati yang dikutip Al-Kalabadzi adalah “kehinaan atau kerendahhatian kepada Dia yang mengetahui yang gaib”. Keenam, takwa al-taqwa. Menurut Kalabadzi menghindari apa yang dilarang dan memutus hubungan dengannya dari jiwa. Ketujuh, tawakkal al-tawakkal. Menurut Al-Kalabadzi tawakkal adalah meninggalkan segala daya dan upaya dengan mengatakan “la haula wa la quwwata illa billah”. Kedelapan, ridha al-ridha. Ridha adalah diamnya hati dalam guratan nasib. Kesembilan, cinta al-mahabbah. Al-Junayd berkata, “cinta adalah kecondongan hati yakni kecondongan hati kepada Allah dan segala sesuatu yang menyangkut Allah tanpa upaya apapun”. Terakhir, ma’rifat al-ma’rifah. Menurut salah seorang sufi ma’rifat ada dua macam. Pertama, ma’rifat kebenaran, yaitu menyatakan keesaaan Tuhan atas sifat-sifat-Nya, sedangkan ma’rifat kedua adalah ma’rifat di mana tidak ada cara apapun untuk mencapai ma’rifat tersebut, karena 224 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 sifat Tuhan tidak bisa ditembus dan verifikasi ketuhanannya tidak mungkin bisa Al-Qusyairi Menurut Qusyairi dalam kitabnya Al-Risalat Al-Qusyairiyyah, maqamat terdiri dari tobat, wara’, zuhud, tawakal, sabar dan tobat. Menurut Qusyairi tobat adalah kembali, yaitu kembali dari sesuatu yang dicela oleh syara’ menuju sesuatu yang diridhai oleh-Nya. Syarat yang harus dipenuhi agar tobatnya diterima ialah menyesali pelanggaran yang telah dilakukan dan berkomitmen utnuk tidak kembali kepada kemaksiatan. Kedua, wara’. Wara’ menurut Abu Ali Daqqaq adalah “meninggalkan apapun yang syubhat”. Ibrahim ibn Adham mengatakan wara’ yaitu “meninggalkan segala sesuatu yang meragukan, segala sesuatu yang tidak berarti dan apa pun yang berlebihan”. Ketiga, zuhud. Zuhud yang dimaksud di sini adalah zuhud terhadap dunia al-zuhd fi al-dunya. Zuhud adalah meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi untuk kemudian tidak peduli dengan mereka yang mengambilnya. Buah dari zuhud adalah kedermawanan. Adapun indikator orang zuhud adalah adanya sikap tenang ketika berpisah dengan harta yang dimilikinya. Keempat, tawakkal. Menurut Abu Sahl bin Abdillah, tawakkal adalah “menyerahkan diri kepada Allah dalam apapun yang dikehendaki oleh-Nya”. Kelima, sabar. Al-Qusyairi membagi sabar menjadi dua bagian, yaitu sabar terhadap apa yang diupayakan dan sabar terhadap apa yang tidak diupayakan. Sabar yang diupayakan yaitu sabar dalam menjalankan perintah Allah dan sabar dalam menjauhi larangan-Nya. Sedangkan sabar yangtidak diupayakan adalah kesabaran dalam menjalani ketentuan Allah yang menimbulkan kesukaan baginya. Keenam, ridha. Al-Qusyairi Konsep Tasawuf Sunni 225 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 mengatakan bahwa awal ridha adalah sesuatu yang dicapai oleh sang hamba dan merupakan maqam, tetapi pada akhirnya ridha merupakan keadaan rohani hal dan bukan sesuatu yang diperoleh dengan upaya Al-Ghazali Dalam buku Ihya’ Ulum Al-Din, Al-Ghazali menyebut beberapa maqamat antara lain adalah tobat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakkal, mahabbah dan ridha. Pertama, tobat. Menurut Al-Ghazali tobat adalah penyesalan. Kedua, sabar. Al-Ghazali berpendapat bahwa ada dua macam sabar yaitu sabar yang berkaitan dengan fisik, seperti ketabahan dan ketegaran memikul beban dengan badan. Sedangkan sabar yang kedua disebut dengan kesabaran yang terpuji dan sempurna, yaitu kesabaran yang berkaitan dengan jiwa dalam menahan diri dari berbagai keinginan tabiat atau tuntutan hawa nafsu. Ketiga, kefakiran. Kefakiran diartikan oelh Al-Ghazali sebagai ketak-tersedianya apa yang dibutuhkan. Maka dalam arti ini, seluruh wujud selain Allah adalah fakir karena mereka membutuhkan bantuan Tuhan untuk kelanjutan wujudnya. Keempat, zuhud. Zuhud didefiniskan sebagai tidak adanya perbedaan antara kemiskinan dan kekayaan, kemuliaan dan kehinaan, pujian atau celaan karena keakrabannya dengan Tuhan. Kelima, tawakkal. Tawakkal artinya menyerahkan urusan kepada seseorang, yang kemudian disebut wakil dan memercayakan kepadanya dalam urursan tersebut. Tentu saja seseorang tidak akan menyerahkan urusan kepada orang lain kecuali ia merasa tenang dengannya, percaya dan mempercayakan kepadanya baik dari sudut ke-tsiqah-annya maupun kecakapannya. Dalam hal ini yang dimaksud adalah tawakkal kepada Allah, Wakil yang sangat dapat 226 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 dipercaya, Maha Kuasa dan mempunyai kecakapan yang tiada batasnya. Keenam, cinta Ilahi/mahabbah. Menurut Al-Ghazali orang yang mencintai sesuatu, yang tidak punya keterkaitan dengan Allah, maka orang tersebut melakukannya karena kebodohan dan kurangnya dalam mengenal Allah. Adapun cinta kepada selain Allah tetapi masih terkait dengan Allah, maka hal tersebut masih dipandang baik. Misalnya, cinta kepada Rasulullah adalah terpuji karena cinta ini merupakan buah kecintaan kepada Allah. Cinta kepada siapa pun yang Allah cintai adalah baik, karena pecinta kekasih Allah adalah juga pecinta Allah. Ketujuh, ridha. Maqam terakhir menurut Al-Ghazali adalah DAN MAHABBAH 1. Ma’rifah Kata ma’rifah berasal dari kata arafa yang artinya mengenal. Istilah tersebut bersumber dari hadits Rasulullah SAW,  Barang siapa yang mengenal dirinya sesungguhnya dia mengenalnya Tuhannya. Diri manusia pada hakikatnya penuh dengan segala ketergantungan dan kefanaan. Sedangkan Allah SWT memiliki kebesaran, kekuasaan, kekekalan serta memiliki seluruh sifat-sifat kesempurnaan. Tidak ada satu pun manusia yang mampu mengenal-Nya dalam arti hakiki kecuali dengan karena-Nya. Hal ini senada dengan ungkapan Dzun Nun Al-Mishry    Aku kenal Tuhanku dengan karena Tuhanku jua. Yakni, manusia dapat mengenal Tuhan dengan hidayat-Nya, kuasa-Nya dan iradat-Nya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat para sufi dalam kitab Ayqazh Al-Himam dan Al-Risalah Al-Qusyairiyyah         Orang yang makrifat kepada Allah dengan Dia, maka itulah diaarif hakiki. Syekh Dzun Nun Al-Mishry ditanya Konsep Tasawuf Sunni 227 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 orang Dengan apa anda mengenal Tuhan anda? Beliau menjawab; aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku jua, tanpa Dia, tidak mungkin aku dapat mengenal ulama sufi sepakat bahwa pada hakikatnya tidak ada seorang pun yang mampu mengenal Allah kecuali dengan atau karena Allah jua. Setidaknya, ada tiga alasan mendasar dari kalangan sufi atas konsep ini, yaitu a Saat awal kehadiran manusia di muka bumi, Nabi Adam AS membawa pengetahuan tentang Allah SWT. Dan tentang segala sesuatu karena diajarkan oleh Allah sendiri kepadanya, yang sebelumnya dia tidak mengerti apa-apa  “Allah ajarkan kepada Adam nama-nama semuanya” QS Al-Baqarah ayat 31 b Lahirnya seorang anak manusia dari kandungan ibunya tanpa pengetahuan apa-apa, sebagaimana difirmankan Allah SWT  “Allah yang mengeluarkan kamu dari perut ibumu, dan kamu tidak mengerti apa-apa” QS An-Nahl ayat 78. Mengenai ada dan tersedianya apa yang dinamakan dengan watak, bakat, intelegensi, naluri dan lain-lainnya adalah bersifat khalqiyyat ciptaan dan bukan meruapakan buatan manusia itu sendiri. c Faktor keterbatasan manusia merupakan suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun. Di sini pengetahuan yang dimiliki manusia timbul dan berkembang karena adanya kombinasi antara faktor intern unsur-unsur khalqiyyat dengan faktor ekstern alam dan hubungan manusia Fadli Rahman, Ma’rifah, Musyahadah, Mukasyafah dan Mahabbah, Malang In-Trans Publishing. Hal. 45. 228 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 dengan lingkungan. Dengan demikian, pada hakikatnya ma’rifah kepada Allah hanya dapat dicapai karena Allah, yakni dengan petunjuk-Nya, hidayah-Nya dan kehendak-Nya. Abu Yazid seorang sufi mengungkapkan bahwa mereka yang telah mencapai tingkat ma’rifah adalah mereka yang dalam batin tidak menghiraukan sesuatu yang ada pada mereka dan bertahan pada apa yang ada pada Allah SWT. Di samping itu juga, Al-Qasim Al-Qusyairi mengemukakan bahwa alat untuk memperoleh ma’rifah adalah sirr. Dijelaskan oleh Qusyairi bahwa di dalam tubuh manusia terdapat tiga alat yang dipergunakan oleh para sufi untuk berhubungan dengan Tuhan; pertama, qalb, yaitu alat yang dipakai untuk mengetahui sifat-sifat Tuhan, kedua ialah ruh, yakni alat untuk mencintai Tuhan dan yang ketiga adalah sirr, yaitu alat untuk dapat melihat Mahabbah Seorang sufi sejati, setelah merealisasikan sepenuhnya pola dan teladan yang ditetapkan Nabi Muhammad SAW., secara batiniah sudah mabuk dengan Allah dan secara lahiriah tetap tidak mabuk dengan dunia. Kemabukan spiritual adalah buah keberhasilan menemukan Allah. Kaum sufi biasanya berdoa kepada Allah dalam bahasa cinta, pengalaman paling kuat dan paling intens dalam kehidupan menggunakan bahasa ini, mereka menuruti bukan hanya segenap realitas dari fitrah manusia, melainkan juga ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits. Yang sangat signifikan adalah ayat berikut ini “katakanlah wahai Muhammad, jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku niscaya Allah akan mencintai kalian” QS. Ali Imran; 31. Menurut pembacaan khas sufi atas ayat ini, yaitu cinta kepada Allah akan mendorong seorang menempuh jalan sufi untuk saling mencintai, Konsep Tasawuf Sunni 229 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 yakni bahwa sang pecinta ingin dicintai oleh Kekasihnya dan merasakan anggur cinta Kekasihnya. Tidak ada seorang pecinta bahagia tanpa perasaan cinta timbal balik. Ayat tersebut menjelaskan bahwa satu-satunya cara untuk membuktikan bahwa cinta kepada Allah adalah dengan meneladani kesederhanaan Nabi Muhammad SAW., dan ini berarti harus mengikuti perilakunya, yakni Sunnah yang dikodifikasikan dalam syariat. Dalam sebuah Hadits yang sering dikutip dalam karya-karya sufi, Nabi Muhammad SAW., menguraikan apa yang terjadi ketika orang-orang yang mencintai Allah mengabdikan diri mereka sepenuhnya kepada Kekasih mereka. Pengabdian seperti ini harus dibuktikan melalui dua macam praktik, yaitu mengerjakan amal-amal ibadah wajib dan sunnah, yang dikodifikasikan dalam syariat. Setelah para penempuh jalan sufi benar-benar mencintai Allah, mereka pun akan dicintai oleh-Nya. Cinta Allah bisa membuat mereka mabuk dan menghilangkan semua kekurangan dan keterbatasan mereka sebagai manusia. Cinta Allah dapat pula melenyapkan kegelapan temporalitas dan kemungkinan, serta menggantikannya dengan pancaran keabadian Allah. Menurut Al-Ghazali cinta kepada Allah adalah suatu hasil terakhir dari ma’rifatullah. Ajaran tasawuf dan umumnya ajaran Islam ialah membangkitkan rasa cinta yang sangat dalam kepada Allah. Jika rasa cinta telah melekat dalam diri jiwa seseorang, maka ketika ia menjalankan perintah serta menjauhi larangan-Nya akan terasa nikmat. Karena ia melakukannya dengan ikhlas, dengan kesadaran hati bukan karena kepada Allah ialah suatu sikap mental yang mendorong manusia untuk mengagungkan Allah, menuntut keridhaan-Nya, ingin selalu William C. Chittick, Tasawuf di Mata Kaum Sufi Bandung Mizan, 2002. Hal. 77. Ali Hasyim, Menuju Puncak Tasawuf Surabaya Visi 7, 2006. Hal. 190. 230 Fitriyatul Hanifiyah Doi At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 bertemu dengan-Nya dan tidak tenang dengan sesuatu selain daripada Allah. PENUTUP Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa tasawuf akhlaqi merupakan pola tasawuf yang ajaran-ajarannya kembali kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian ajaran tasawuf akhlaqi tersebut merupakan ajaran yang terdapat dalam aliran sufi sunni. Tasawuf sunni ini cenderung menyorot tasawuf dari sudut moral dan amal syariat yang didasarkan pada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Termasuk tokoh-tokoh sufi sunni di antaranya adalah Haris al-Muhasibi. Ia banyak mengkaji dan mengajarkan disiplin diri muhasabah. Al-Muhasibi juga menulis Kitab Al-Wasaya yang menyajikan ulasan tentang zuhud. Di antara tokoh tasawuf yang muncul pada abad ke-5 H adalah Abu Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi, selain itu juga Al-Ghazali. Sedangkan maqam dan hal merupakan cara untuk mencapai tujuan ideal para sufi. Melalui proses purifikasi jiwa terhadap kecenderungan materi agar kembali pada cahaya Tuhan. Pada sisi lain, ahwal merupakan keadaan yang diberikan oleh Tuhan di tengah seseorang melakukan perjalanan kerohanian melalui maqam tertentu. Ketika Tuhan memanifestasikan diri dalam jiwa dan hati bersih manusia baik dalam bentuk keagungan maupun keindahan-Nya, seseorang akan mencintai manifestasinya tersebut dan merasakan kegembiraan-kegembiraan tertentu, hati merasa dekat qurb, rasa cinta mahabbah, raja’, tentram dan rasa yakin. Kondisi-kondisi kejiwaan tersebut yang dinamakan ahwal. Konsep Tasawuf Sunni 231 At-Turāṡ Jurnal Studi Keislaman E-ISSN 2460-1063, P-ISSN 2355-567X Volume 6, No. 2, Juli-Desember 2019 DAFTAR PUSTAKA Chittick, William C., Tasawuf di Mata Kaum Sufi Bandung Mizan, 2002 Ernst, Carl W., Ajaran dan Amaliah Tasawuf, diterj. dari Judul Asli The Shambhala Guide to Sufism Jogjakarta Pustaka Sufi, 2003 Hasyim, Ali, Menuju Puncak Tasawuf Surabaya Visi 7, 2006 Kartanegara, Mulyadhi, Menyelami Lubuk Tasawuf Jakarta Erlangga, 2002 Madkour, Ibrahim, Filsafat Islam Metode dan Penerapan Jakarta CV. Rajawali, 1988 Mukhlis, Tasawuf yang Dipuja, Tasawuf yang Dikutuk Jogjakarta Genta Press, 2008 Rahman, Fadli, Ma’rifah, Musyahadah, Mukasyafah dan Mahabbah Malang In-Trans Publishing Rahman, Fazlur, Islam Jakarta Bina Aksara, 1987 Shihab, Alwi, Akar Tasawuf di Indonesia Jakarta Pustaka Iiman, 2009 Simuh, Abdul Muhayya, Amin Syukur, dkk., Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001 Su’ud, Abu, Islamologi Jakarta PT Rineka Cipta, 2003 Aris PriyantoMaqamat adalah tingkatan seorang hamba dihadapan Allah dalam hal ibadah dan latihan-latihan riyaḍah jiwa yang dilakukannya. Maqamat juga terdapat dalam kitab Salalim Al-Fuḍala karya Syekh Nawawi Al-Bantani. Keberadaan maqamat sangat penting dalam perjalanan spiritual seorang salik untuk bisa sampai kepada Allah dan menjadi kekasih-Nya. Dengan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk 1. mengetahui konsep maqamat Syekh Nawawi al Bantani dalam kitab Salalim Al-Fuḍala; 2. mengetahui maqam-maqam yang terdapat dalam Kitab Salalim Al-Fuḍala. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan menggunakan analisis deskriptif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Syekh Nawawi Al-Bantani memahami maqamat sebagai sebuah wasiat yang harus dijaga dan diamalkan oleh seorang salik. Sedangkan maqamat menurut Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Salalim Al-Fuḍala’ adalah tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh seorang salik untuk sampai kepada Allah dan menjadi kekasih-Nya dengan cara menjaga dan mengamalkan sembilan wasiat. Sembilan wasiat tersebut menurutnya adalah taubat, qana’ah, zuhud, belajar ilmu syari’at, menjaga ibadah sunnah, tawakal, ikhlas, uzlah, dan menjaga waktu. Selain itu, ada tiga macam maqam yang ditawarkan Syekh Nawawi Al-Bantani dalam kitab Salalim al-Fuḍala yang tidak terdapat dalam macam-macam maqam para tokoh sufi lainnya. Ketiga macam tersebut antara lain; belajar ilmu syari’at, menjaga ibadah sunnah, dan menjaga waktu. Sehingga ketiga tersebut akhirnya menambah jumlah maqamat yang ada dalam disiplin ilmu tasawuf, dimana ketiga maqam tersebut tidak ditemukan dalam konsep maqamat para tokoh sufi dan Amaliah Tasawuf, diterj. dari Judul Asli The Shambhala Guide to SufismCarl W ErnstErnst, Carl W., Ajaran dan Amaliah Tasawuf, diterj. dari Judul Asli The Shambhala Guide to Sufism Jogjakarta Pustaka Sufi, 2003Abdul SimuhAmin MuhayyaDkk SyukurSimuh, Abdul Muhayya, Amin Syukur, dkk., Tasawuf dan Krisis, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001
MARIFAT Ilmu pengetahuan yang sampai ketingkat keyakinan yang mutlak dalam meng-esakan Allah.Penghayatan Kepercayaan KepadaTuhan Yang Maha Esa, Bagi Yang telah Dapat Menyaksikan Nur Allah ( SEMBAH SUKMA) HAKEKAT: Pandangan yang terus menerus kepada Allah.Kesadaran Mental Ber­orientasi pada Dimensi-dimensi Atas­an (Budhi Luhur),

Syukur merupakan kata yang lazim diucapkan dalam keseharian masyarakat. Syukur menjadi pembahasan dalam bab tersendiri dalam kajian tasawuf. Syukur dibahas dengan beragam pandangan orang-orang sufi dalam ar-Risalatul Qusyairiyyah. Pembahasan syukur dalam ar-Risalatul Qusyairiyyah diawali dengan kutipan Surat Ibrahim ayat 7 لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ Artinya, “Sungguh, jika kalian bersyukur, niscaya Kutambahkan nikmat kalian,” Surat Ibrahim ayat 7. Terkait syukur, al-Qusyairi mengutip sebuah hadits yang menceritakan Atha dan Ubaid bin Umair. Suatu hari keduanya menemui sahabat Aisyah ra. “Kabarkan kepada kami apa yang paling mengherankanmu dari perbuatan Rasulullah saw!” kata Atha. Siti Aisyah ra menangis. Ia kemudian bercerita bahwa suatu malam Rasulullah saw mendatanginya dan berbaring di kasurnya atau di dalam selimutnya sehingga kulit keduanya saling bersentuhan. “Wahai putri Abu Bakar, biarkan aku beribadah kepada Allah malam ini,” katanya. “Aku senang dekat dengamu Rasulullah,” jawab Aisyah ra. Rasulullah saw kemudian mendekati kirbat berisi air dan berwudhu. Pada kesempatan ini Rasulullah menuang banyak air untuk wudhunya. Aisyah pun merelakan suaminya beribadah menghidupkan malam. Rasulullah saw mulai melakukan shalat. Ia menangis. Air matanya mengalir sehingga membasahi dadanya. Ia turun untuk rukuk. Pada rukuk ini ia juga menangis. Kemudian itidal dan sujud. Ia juga bersujud dalam keadaan menangis. Bangun dari sujud ia juga menangis. Rasulullah saw terus melakukan shalat dengan menangis sepanjang malam sampai Bilal ra datang untuk mengabarkannya azan subuh. “Wahai Rasulullah, apa yang membuatmu menangis? Padahal Allah telah mengampuni dosamu yang dahulu dan kemudian,” tanya Aisyah ra. “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur dan mengapa aku tidak melakukannya?” jawab Rasulullah. * Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI menyebut pengertian syukur sebagai rasa terima kasih kepada Allah swt. Adapun berikut ini adalah hakikat syukur yang disebutkan oleh al-Qusyairi. حقيقة الشكر عند أهل التحقيق الاعتراف بنعمة المنعم على وجه الخضوع Artinya, “Hakikat syukur menurut ahli hakikat adalah pengakuan atas nikmat Allah, Zat pemberi nikmat, dengan jalan ketundukan,” Lihat Abul Qasim Al-Qusyairi, ar-Risalatul Qusyairiyyah, [Kairo, Darus Salam 2010 M/1431 H], halaman 97. Hakikat syukur dapat juga berarti pujian terhadap orang yang berbuat baik dengan menyebut kebaikannya. Dengan demikian, syukur seorang hamba kepada Allah adalah pujian kepada Allah dengan menyebut kebaikan-Nya. Sedangkan syukur Allah kepadanya berupa pujian Allah dengan menyebut kebaikan hamba-Nya. Adapun kebaikan seorang hamba adalah ketaatannya kepada Allah. Sedangkan kebaikan Allah adalah pemberian nikmat Allah kepadanya berupa taufik dan hidayah agar ia mau bersyukur. Syukur atas nikmat Allah diucapkan dengan mulut dan disadari dengan hati. Sedangkan sebagian ulama membagi syukur dengan tiga ekspresi, pengakuan dengan lisan atas nikmat Allah, kepatuhan oleh anggota badan atas ibadah yang diperintahkan, dan syukur hati dengan musyahadah. Al-Qusyairi, 2010 M/1431 H 97-98. Abu Ustman mengatakan, syukur adalah menyadari keterbatasan kita untuk bersyukur. Ulama lainnya menambahkan, syukur karena bisa bersyukur merupakan nikmat yang lebih sempurna dari sekadar mensyukuri nikmat karena kita meyadari bahwa tanpa taufik-Nya kita takkan dapat bersyukur. Al-Junaid ketika berusia 7 tahun mengatakan saat ditanya pamannya di hadapan para jamaah "Syukur itu adalah kau tidak bermaksiat kepada Allah dengan nikmat-Nya." Abu Ustman mengatakan, syukur orang awam terkait dengan nikmat makanan, pakaian, dan material lainnya, sedangkan syukur orang khawash terkait pengertian dan pemahaman yang masuk ke dalam batin mereka. Nabi Dawud as mengatakan, “Tuhanku, bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu? Syukurku atas nikmat-Mu merupakan nikmat batin tersendiri dari sisi-Mu.” Suatu hari seseorang menemui Sahal bin Abdullah at-Tustari. Ia mengadu musibah kehilangan bahwa seorang pencuri masuk ke dalam rumahnya dan mengambil barang berharganya. “Bersyukurlah kepada Allah. Bagaimana kalau pencuri yaitu setan masuk ke dalam hatimu dan merusak keyakinanmu?” kata At-Tustari. Wallahu a’lam. Ustadz Alhafiz Kurniawan

1DGqSos.
  • sss88xhjs4.pages.dev/718
  • sss88xhjs4.pages.dev/386
  • sss88xhjs4.pages.dev/111
  • sss88xhjs4.pages.dev/199
  • sss88xhjs4.pages.dev/496
  • sss88xhjs4.pages.dev/177
  • sss88xhjs4.pages.dev/621
  • sss88xhjs4.pages.dev/903
  • hakikat taqwa menurut sufi